(sebuah perenungan pendek tentang hidup)
Salah satu hal
yang ditakuti para pendaki gunung adalah hilang jalan, atau kehilangan
arah. Entah saat perjalanan menuju
puncak, atau kembali pulang. Memang,
salah satu penyebab hilang jalan adalah kurangnya informasi tentang medan yg
hendak di jelajahi. Tapi oke-lah, bukan
itu intinya, melainkan sikap kita saat berada pada kondisi ‘kehilangan arah’
tersebut.
Buat saya,
perjalanan kehidupan tak ubahnya petualangan mendaki gunung. Ada saatnya mendaki, ada juga menurun, atau
berputar. Termasuk kehilangan arah. Lalu apa yang akan kita lakukan pada kondisi
hilang arah? Maaf, dalam konteks kehidupan,
saya merasa belum layak untuk memberikan tips, atau tutorial sukses
pemecahannya. Tapi sebagai eks pendaki
gunung, mungkin saya boleh sedikit berbagi.
Begini,...
Jangan panik.
Ini kondisi mental yang sangat penting untuk dipertaruhkan ketika kita
kehilangan arah. Karena dalam kondisi panik, otak kita cenderung beku, dan
sulit berpikir. Banyak pendaki yang
tidak bisa kembali, atau hilang saat melakukan pendakian dikarenakan
kepanikan. Takut kegelapan, lapar, dsb.
Ambil waktu sejenak untuk
berdiam diri. Ada kaitannya dengan bagian sebelumnya, hal
ini sangat penting untuk melakukan tindakan selanjutnya. Ada baiknya, ketika melakukan aktivitas ini, kita juga berdoa pada Yang Kuasa. Yah, emang sich, Dia Yang di Sana ngga akan
dengan serta merta mendiktekan jalan yang akan kita lewati, atau dengan tiba-tiba
pohon-pohon rubuh guna memberi tanda seperti pramuka. Tapi dengan Doa, kita mendapatkan ketenangan, hikmat untuk berpikir, dan kekuatan ekstra
untuk melanjutkan perjalanan.
Tetap bergerak/berjalan.
Sederhana sebenarnya (udah sering gue praktekin loh waktu
mendaki...). Kalo cuma berdiam diri terus,
tanpa melangkah, biasanya malah sering
di jangkiti penyakit saling tuding
dan mencari biang keladi penyebab
kebuntuan, yang justru bikin kita tambah tertekan. Toh jalan keluar ngga akan muncul
tiba-tiba. Beda halnya kalau tetap
bergerak dan berjalan, peluang untuk
menemukan jalan keluar akan lebih besar.
Krn saat berjalan, otak juga berpikir.
Mengingat & melihat.
Faktanya, pada tiap langkah kaki yang diayun, disitu juga ada harapan. “Mudah-mudahan
200 meter lagi...”
Menghemat tenaga/energi.
Banyak pendaki yang karena panik, pikiran buntu, justru
menghambur-hamburkan tenaga percuma.
Padahal, kita ngga tahu berapa lama waktu yang bakalan kita tempuh. Dengan membuang tenaga percuma, kita justru lebih patah semangat ketika lagi-lagi menemukan jalan buntu, dan
fisik udah sangat letih.
Cuma begitu. Kira-kira relevan ngga kalo disinkronkan
dengan kehidupan nyata...?
No comments:
Post a Comment