Wednesday, June 25, 2014

Sebuah Jeda Pada Tinutuan Terakhir



(kalo loe mbaca buku fisik, kan ada bagian halaman yang kosong ketika mau masuk topik, ato judul baru.  Nah, ini yg gue maksud sebuah ‘jeda’.....gicyu)  

Jeda 01.  Butiran pasir di Kejuaraan dunia sepakbola.

Hampir bisa dipastikan kalo mata dunia bakalan tertuju ke ajang akbar 4 tahunan yang waktu tulisan ini di bikin lagi di gelar di Brazilia, sebuah negara berkembang di Amerika Selatan yang di awal-awal pelaksanaannya justru di demo abis-abisan sama masyarakatnya karena dianggap menghambur-hamburkan uang di tengah kemiskinan rakyat.  Menurut info terpercaya, Brazil ngabisin 1 milyar Euro, ato setara Rp. 16,38 Triliun untuk perhelatan akbar tersebut.  Emang sich masyarakat sono ngga mendesak pemerintahnya buat beli permen ato pisang goreng.  Hehehe......

Agama yang merupakan keyakinan hakiki banyak orang di bulatan bumi ini faktanya lebih sering memecah belah, bukan  mempersatukan.  Ngga sedikit perseteruan antar bangsa dipicu oleh sentimen agama.  Tapi sepakbola dengan caranya yang unik justru lebih sering mempersatukan.  Ato mungkin aja kalo Sepakbola adalah ‘Tangan Tuhan’ guna menyatukan umat ciptaanNya.  Only God knows.....hehehe.

Di ajang Piala Dunia, dengan memanfaatkan luasnya lapangan hijau, para pemain yang abis nyetak gol  bebas mengekspresikan ungkapan dan penyembahan pada Tuhan yang diyakininya tanpa  perlu Mesjid, Gereja, Kuil, Vihara,  pura atau Sinagoge, dan tanpa kuatir kena rajam, diberondong senapan mesin atau ledakan bom.  Liat aja para pencetak gol yang begitu ekpresif melakukan sujud dan mencium lapangan hijau untuk bersyukur pada Tuhan, membuat tanda salib sebelum masuk atau saat keluar lapangan, bergandengan tangan berdoa bersama, serta berbagai ungkapan doa dan penyembahan yang menjadi ciri khas Agama yang diyakininya.

Cuma di ajang piala dunia-lah kita bebas mengibarkan bendera negara lain tanpa takut di monitor dinas intelegen, atau di cap penghianat kalau negara yang harusnya kita dukung  engga  ikut serta di ajang akbar tersebut. 

Coba deh cermatin, bahkan ketegangan antar negara yang lagi berlangsung-pun jadi reda sesaat ketika ajang piala dunia digelar.  Malah, ada berita yang menyatakan kalo beberapa episode perang sungguhan di medan perang, menunda sesaat pertempurannya demi sebuah pertandingan.

Di ajang piala dunia-lah dua negara bisa barengan nyanyi dan denger lagu kebangsaan musuh yang siap mereka kalahkan dengan hujan gol sebanyak-banyaknya, tanpa korban jiwa dan tawanan perang.

Dan cuma di ajang inilah negara yang secara ekonomi dan militer masuk level ‘under dog’ punya peluang mengalahkan negara maju ato superpower tanpa memikirkan senjata canggih dan efektif sebagai pemusnah massal, karena cuma dibutuhkan strategi menyerang dan bertahan efektif supaya bisa memasukan gol sebanyak mungkin dan kemasukan sesedikit mungkin.

Dan mungkin, Cuma di ajang Piala Dunia-lah Pemimpin sebuah negara bisa dengan santai sowan ke negara lain tanpa protokoler ribet dan dikuntit mentri ekonomi, mentri pertahanan dan mentri luar negrinya, buat ngasih dukungan ke tim negaranya saat ngadepin pertandingan penting. 

Jeda 02.  Perseteruan Terselubung Kaya dan Miskin

Beberapa waktu lalu gue pernah baca status di facebook tentang rasa tersinggung seseorang yang ‘merasa’ lebih miskin.  Harga dirinya yang diposisikan sebagai si-miskin merasa dilecehkan.  Dan ‘Mentang-mentang kaya’ adalah kata umum yang disematkan ke segelintir, atau sekelompok orang yang dianggap menjadikan kelompok lainnya sebagai pihak yang tidak berdaya secara ekonomi, hingga terpaksa merasa tersudutkan.

Di waktu yang lain, gue inget ketika telephon umum masih marak di pake, ada orang yang keliatan kaya baru abis main tenis.  Mungkin lantaran HP-nya lupa di bawa, dia terpaksa ngantri  di box telephon umum yang waktu itu lagi dipake seseorang yang tampilannya kampung banget, alias sederhana.  Pas si- orang kampung keluar, si-kaya ganti.  Di dalem gue liat dia ngeluarin sapu tangan dan megang gagang telephonnya.  Trus dia ngobrol.  Pas keluar, dia ngomong entah ke siapa, karena selain gue ada juga 2 orang laen yang lagi ngantri.  Menurut dia telephonnya bau.  Kalo di rumahnya selalu di bersihin pake pengharum.

Pas si-kaya ngeloyor sama mobilnya yang ratusan juta, salah satu orang yang ngantri bareng gue nyerocos.   Menurutnya mentang-mentang kaya, sombongnya minta ampun.  Gue cuma mesem-mesem tanpa koment, soalnya gue belom membuktikan apa bener dia sombong.  Sapa tau aja gagang telephonnya emang bau. 

Dan emang bener, setelah tinggal gue sendiri di box telephon, gue cium gagang telephon yang buat ngobrol (maksudnya microphone-nya) ternyata emang beneran bau.  Jadi si-kaya bukannya sombong.  Dia bicara yang sebenarnya.  Beda dong sombong sama ngomong apa adanya.  Cuman banyak orang aja yang ngerasa ‘terintimidasi’ sama sikap dan kata-kata orang yang secara finansial jauh di atas kita, sampe keluar kata-kata ‘mentang-mentang kaya’

Gue udah bergaul sama orang-orang kaya, sekaligus orang miskin.  Dan menurut gue, dalam banyak hal sebenarnya ‘jurang pemisah’ antara kaya dan miskin cuma perbedaan sudut pandang doang.  Yah emang sich, kita juga ngga bisa menepis fakta kalo ngga sedikit orang kaya yang asli sombong.  Tapi yang miskin dan sombong juga ngga kalah banyak koq.

Dulu waktu umur gue 25’an, gue sering  ‘termakan’ sama  opini kalo dalam banyak hal, kebangkrutan sebuah bangsa banyak disebabkan oleh pola tingkah orang-orang kaya yang berkolaborasi sama pemerintah.  Tapi ketika umur gue tambah tua, gue bisa ngeliat  kalo perspectif tersebut  ngga bener.  Karena negara ngga bakal bangkrut cuma lantaran orang kayaq Aburizal, Yusuf Kalla, Rahmat Gobel, Ciputra, James Riyadi, Harry Tanoesudibyo makin hari makin banyak di negri ini.  Negara kita bangkrut karena napsu serakah yang ngga terkendali dari segelintir orang.  Dan faktanya, segelintir orang tersebut jadi kaya.  Ya lantaran napsu serakahnya dong.

Ada salah satu kenalan baek gue yang hidupnya dulu memprihatinkan.  Tapi karena keuletan dan kerja kerasnya, ekonominya merangkak naik, dan kehidupannya jadi lebih bagus.  Dan menurut beberapa tetangga, kenalan gue itu sekarang jadi sombong.  Jadi sering menutup diri dan jarang bergaul sama tetangganya.  Tapi gue ngga percaya.  Gue coba cari tahu yang sebenarnya.  Dan ternyata apa yang mereka liat ngga seperti adanya.

Jadi ceritanya, temen gue itu sekarang jadi lebih sibuk.  Pergi pagi dan pulang malam.  Dan untuk ngurusin usaha barunya, dia melibatkan istri, dan ngajak anak-anaknya, karena di rumah dia ngga punya pembantu.  Kalaupun ada di rumah, dia banyak tidur karena capek.  Kondisi ini yang di mata tetangganya dia jadi tampak tertutup.


No comments: