(baca juga episode sebelomnya. klik aja di sini)
Umurnya 32 taon,
lahir tanpa bedah cesar, bedah Cleopatra, apalagi bedah buku di Kelurahan
Apengsambeka, Sangihe. Bokapnya nelayan asli, ibunya wanita cuantik asal Suwaan,
Airmadidi ber-marga Walewangko. Pernah di ajak main pelem sama om Wim Umboh,
tapi lebih milih jadi pengusaha kuliner.
Riijsman anak paling kurangajar
dari 3 bersaudara. Menyandang marga
Gaghana,-salah satu marga Sangihe yang menurut desas-desus merupakan cikal
bakal dibentuknya tim elit penjinak bom negri ini: Tim Gegana.
Waktu masih 20’an, waktu
banyak anak muda doyan dugem, dan malang melintang dalam berbagai petualangan, Riijsman
justru menjelma jadi anak muda introvert yang doyan niup terompet kalo kepepet.
Doski juga pengamat music dan
film dunia yang doyan novel-novel-nya Sidney Sheldon.
Teorinya tentang
Agnez Monica yang pengen go International bakal dapet kendala besar ternyata
terbukti. “Agnez maksain diri jadi kayaq Rihanna, dan kadang-kadang Katty Pery.
Itu sebuah kesalahan. Harusnya dia tetap
bertahan dengan typical orisinilnya”
Riijsman percaya kalo
film yang merupakan olah imaginasi bisa dijadiin model buat membangun kehidupan
nyata yang mendatangkan kesejahteraan manusia.
Humor-humornya mirip
pelawak Cak Lontong,-ngelawak tapi mimiknya serius. Pokoknya nyebelin tapi lucu.
================
Sebuah kejadian yang
asli kebetulan mbikin Riijsman terkenal di jajaran Polda Sulut.
Gini kisahnya....
Suatu ketika di salah
satu pabrik pengalengan terbesar di Sulawesi Utara, PT. Cahaya Human Food
terjadi demo besar-besaran yang tensinya mulai memanas. Pendemo mengepung pabrik di seluruh penjuru
mata angin. Semua pintu keluar dikawal
ratusan pendemo yang bukan cuma buruh pabrik, tapi juga organisasi buruh lainnya. Mereka menuntut ketemuan dan dialog sama
General Manager, Iwan Satria, yang sayangnya menolak mati-matian dan bersikukuh
dengan keputusannya untuk mem-PHK 3000 karyawan perusahaan.
Massa pendemo ngga
ngijinin sang GM ninggalin pabrik.
Mereka berkeras mblokir semua akses keluar. Polisi yang kalah jumlah ngga berdaya nahan
massa pendemo yang tidak melakukan kekerasan.
2,5 jam lewat, tapi bapak-bapak polisi belum juga dapet solusi jitu buat
ngevakuasi Iwan Satria dari lokasi.
Ridel Lalamentik,
salah satu kepercayaan Kapolda yang kerap dimintai saran buat ngatasin situasi
genting yang ngga ada di SOP polisi-pun kehabisan akal.
Waktu itu kebetulan
Riijsman lagi ngunjungin Ridel karena sebuah urusan.
“Del, di pabrik itu kan pasti ada internet, coba loe suruh orang yang
bisa dipercaya untuk ngambil beberapa gambar di dalam ruangan, di mana Iwan
Satria berada, terus di semua pintu keluar pabrik, sama situasi pendemo, terus
kirim ke email loe. Sebenarnya sich
lebih bagus kalo video, cuman kan kapasitasnya gede, ntar lambat ngap-load-nya,
jadi foto aja lah. Oh ya, jangan lupa
juga foto si Iwan Satria, sama data tinggi dan berat badannya .!!” Riijsman
seolah merintah anak buahnya.
“Emang loe mau ngapain, eh, di sono udah ada 7 jago strategi mbebasin
sandera, tapi udah 2,5 jam ngga bisa ngapa-ngapain..” Kening Ridel
mengkerut natap Riijsman yang cuek ngisep rokoknya.
“Engga, gue cuma mau liat dikit situasinya. Kan tadi loe bilang 7 ahli
strategi ngga bisa nyari jalan keluar, nah, gue kan bukan ahli strategi, tapi anak
nelayan tulen yang biasa di laut dan puluhan kali naik turun gunung. Sapa tau bisa bantu pemikiran. Lagian, kalo gue ngga bisa apa-apa, kan loe
ngga rugi apa-apa juga.” Riijsman matiin rokoknya dan ngotak-atik laptop
Ridel.
Ridel narik napas
panjang, ngeluarin Hp, lalu ngontak seseorang.
“Eh,
biar sudara sepupu, kalo loe mainin gue, gue tembak pake pistol aer yang isinya
becek dari kandang babi loe...” Ridel
nempelin kepalan tinjunya di rahang Riijsman yang cengengesan.
“Win, tadi Kapolda nyuruh gue.....” Ridel nelpon temannya Erwin buat
ngelakonin perintah Risman.
“Lagak loe kayaq Kapolri aja ngelantik
gue jadi Kapolda ?” Tawa Riijsman pecah.
“Setan loe...” Ridel ngelempar asbak kosong ke Riijsman yang refleks
ngelak, sampe tu asbak kena salah satu piala yang di pajang Ridel di
ruangannya. Piala juara II masukin benang ke jarum tingkat Nasional.
“Eh, jangan-jangan loe ya yang suka morotin pengusaha-pengusaha sambil
mbawa-mbawa nama Kapolda ?” Riijsman melotot dengan mimik serius.
“Lama-lama koq loe ngelunjak ye, ntar gue tuntut pasal pencemaran nama
baik lo...”
“Loh, bukannya nama loe udah lama tercemar ?” Riijsman melihat
sebuah tanda email masuk di sudut kanan bawah laptop Ridel.
Ngga lama berselang Ridel nyetak 30 biji foto kiriman Erwin yang udah di resize dari lokasi
kejadian yang jaraknya 40 Km dari Polda Sulut.
“Kapten Ridel, bikinin saya secangkir kopi, beliin rokok, dan kasih saya
kesempatan mikir...!!” Riijsman merintah kayaq Kapolda beneran.
“Apaaaaa,...loe kira di sini kedai ?” Ridel tereak di kuping Riijsman
yang ngelonjak kaget.
“Anda sadar dengan siapa anda bicara Kapten ?” Riijsman berdiri
tegak dengan tatapan tegas yang dibuat-buat.
Ridel ngga banyak
omong, dan ngeloyor pergi. Dia berharap
Riijsman bisa memberikan sesuatu.
‘Yah, we know-lah,
demi sebuah kepentingan, terkadang jabatan dan wibawa bisa diabaikan. Lagian, kalo cuman mbikinin kopi buat sudara
sepupu kan bukan aib’
Sambil mlototin dengan
cermat 30 biji foto satu per satu, Riijsman sibuk mbikin catatan-catatan ketika
sebungkus rokok melayang ke atas meja dan menghamburkan beberapa biji foto.
“Jaga sopan santun anda Kapten..” Riijsman mbuka bungkusan rokoknya,
mengambil sebatang, membakar, lalu kepulan asap putih menghambur dari mulutnya.
“Ok, jadi begini skenarionya Del,....”
Ngga berapa lama
kemudian Ridel tampak berbicara di ponselnya.
Tubuhnya keliatan tegang sambil tak brenti ngomong ‘siap pak’. Waktu percakapannya
usai, Ridel menghubungi seorang Polisi yang di PT. Cahaya Human Food. Waktu saat itu menunjukan pukul 14.30 Wita.
=================
PT. Cahaya Human Food, pukul 16.00 Wita.
Lingkungan pabrik
masih di penuhi ratusan pendemo yang walau tampak letih, namun tetap semangat
menanti kesediaan Iwan satria untuk dialog.
Pandangan mereka tertuju pada salah satu pintu keluar pabrik yang
terbuka. 8 orang yang terdiri dari 4
wartawan dan 4 perwakilan buruh keluar dari pabrik dengan wajah kecewa. Mereka langsung bergerombol mengelilingi 8
orang tersebut.
Ketika pembicaraan berlangsung,
salah satu wartawan membungkuk memunggut sesuatu yang tampaknya terjatuh, dan
bergerak perlahan menembus kerumunan, lalu melenggang santai ke pintu gerbang
yang dipagari puluhan laki-laki berbadan besar.
Sesaat ia ragu, berenti, dan melangkah cuek sambil menunduk memainkan
ponselnya.
Pas di luar gerbang pabrik,
wartawan tersebut mempercepat langkahnya.
Dari sebuah warung, seorang bertubuh tegap berambut pendek mendekati
wartawan tersebut, berkata pelan, dan menuntunya ke suatu tempat yang berjarak
50 M dari gerbang pabrik. Di sana sebuah
mobil hitam berkaca gelap dengan nomor polisi sudah menunggunya. Pria berbadan tegap dan Wartawan tersebut
masuk, dan mobil bergerak perlahan menuju Manado.
“Bagaimana pak Iwan, semuanya lancar dan aman..?” Pria bertubuh
tegap di samping sopir menyapa wartawan di jok belakang yang lagi membuka
pakain berlapisnya yang terdiri dari 4 kemeja dan 2 kaus. Samaran yang membuatnya tampak lebih padat
dan berisi ketimbang sosok aslinya.
“Wah, ide pak Kapolda kalian tadi sangat unik dan brilian. Memang waktu di gerbang keluar tadi sempat
ada yang menatap saya agak lama, mungkin curiga, tapi saya acuh dan melenggang
santai kayaq wartawan asli...” Iwan Satria melepas topi, kacamata tebal,
kumis, jenggot dan brewok palsunya. Dengan
sapu tangan putih yang ia keluarkan dari tasnya, ia mengusap make up dari wajah
hingga leher yang membuatnya tampak lebih hitam.
“Hahaha,...kalo ngga brilian masa dia jadi Kapolda sich pak “ Pria
berbadan tegap tertawa bangga.
==================
Riijsman lagi di
mikrolet ke Airmadidi dan tenggelam sama buku berjudul ‘Istana selalu menghadap ke Timur’ ketika ponsel di kantongnya
bergetar. Nama Ridel tertulis di sana.
“Halo,...kenapa Del ?”
“Eh Man, Kapolda titip salam, Iwan Satria udah keluar 15 menit yang lalu
...” Suara Ridel menggema di kuping Riijsman.
“Salam balik deh. Gue yakin koq
kalo asisten sutradara njalanin skenario dengan bener, Iwan bakal lolos. Ada lagi ngga yang pengen loe bilang, gue
lagi asyik nich...?” Pandangannya ngga pindah dari bukunya.
“Kuda lumping loe, sombong banget, tunjukin ekspresi yang seneng ato gimana
gitu...” Suara Ridel terdengar gemes.
“Trus, gue harus njerit dan bilang wow geto,..halooo,..gue lagi di
mikrolet nich, ntar kalo dikeplak orang kan kepala gue, bukan loe,...sontoloyo”
==================
Waktu pukul 20.00
Wita, jumlah pendemo sisa setengahnya.
Yang setia-pun tampak letih, bosan dan kesal. Mereka mencoba adu kesabaran dengan Iwan
Satria. Tapi sebagian mereka menyadari
adanya kejanggalan. Polisi yang semula hampir
70-an orang kini tinggal 20 orang.
Itupun dengan penjagaan yang kesannya lebih santai, ngga kayaq tadi siang.
Pukul 21.00 Wita,
satpam pabrik yang kasihan sama pendemo membocorkan rahasia kalau Iwan Satria udah
ninggalin pabrik sejak sekitar 16.15 Wita.
Pendemo terkejut ampir mati. Ngga
seorangpun menduga udah sukses dikecoh Iwan Satria.
===============
Riijsman lagi
melototin tayangan ‘Fox Crime’ di tv kabel waktu Ridel ng-sms.
‘Man,
dari mana sich ide loe, Kapolda nanyain loe terus dari tadi, sampe sebel gue’
‘Mau tau aja, ato mau
tau banget ?’ Bales Risman.
‘Man, kapan sich loe
mau serius ama gue ?’
‘Jadi loe anggap ide
gue juga becandaan dong ?’
‘Ngga gitu, justru
lantaran gue anggap ide loe luar biasa, makanya gue nanya’
‘Terima kasih buat
pujiannya Kapten, tapi loe janji percaya sama yg gue bilang’ Riijsman senyum.
‘Janji 1000 %’
‘Film Argo’
================
Besoknya sebuah
Harian Manado menampilkan sebuah berita keren ‘Kapolda
Menang Elegan Adu Sabar
VS Pendemo Damai’
================
Skenario Riijsman
Ke Ridel, Risman
bilang untuk nyari empat orang.
“Pertama, orang yang bisa acting buat nyutradarain skenario gue. Inget Del, berhasil ato gagalnya skenario ini
ada di tangan sang sutradara,...yah anggaplah asisten sutradara. Kan gue sutradaranya...” Riijsman senyum
sambil nyemburin asap putih, lalu matiin puntung di asbak yang udah penuh.
“Kedua, juru rias yang bodynya lebih gede dikit dari Iwan Satria, tapi
tampangnya ampir mirip. Inget,..ampir mirip, bukan mirip. Paparkan
situasinya. Kasih jaminan keamanan dan
imbalan fulus yang bagus. Trus suruh dia
nyamar jadi wartawan yang kumisan, brewokan dan jenggotan, pake kacamata minus
tebel sambil bawa tas yang isinya perlengkapan rias buat ngubah tampilan Iwan.
Lalu suruh masuk ke kerumunan sambil action foto-foto sembarang. Suruh dia mendekat ke pintu masuk, tapi tetap
di kerumunan. Nantinya si juru rias
bakal disetting masuk ke dalem, ikut dialog, trus pas dapet kode waktu dialog
berlangsung, dia minta ijin ke toilet, arahin ke ruangan Iwan Satria, buat
ngerubah tampilan Iwan jadi kayaq dia.” Riijsman ngomong serius banget.
Riijsman berhenti
sesaat. “Bisa ngikutin loe ?” Tatapnya ke Ridel.
“Man, terus terang gue ngga mampu njabarin apa yang ada di kepala
loe. Ribet. Mendingan begini, gue nyari
asisten sutradara, terus loe yang njabarin skenarionya ke dia, gimana ?”
Ridel senyum sambil
nggaruk kepala menunggu persetujuan Risman.
Riijsman mengangguk.
===================
Ratusan pendemo gegap
gempita waktu seorang Polisi ngasih info kalo Iwan Satria bersedia dialog. Mereka mengijinkan 4 wakil buruh, dan 4
wartawan masuk berdoalog. 4 wakil buruh
adalah pilihan langsung para buruh, namun ke-4 wartawan di tunjuk oleh polisi.
Mereka berjalan
menyusuri lorong pabrik yang agak panjang, dan menuju sebuah ruangan ber-cat
kuning, ber-AC, dengan kulkas besar di sudut kiri ruangan berukuran 6x6 meter.
Tepat di tengah ruangan terdapat meja
seukuran mejanya tenis meja dengan sekitar 15 kursi di sekelilingnya, sebuah
sofa coklat panjang di ujung lain ruangan.
Ruang tersebut biasa di pakai sebagi tempat meeting para pimpinan unit
produksi.
Saat memasuki
ruangan, 3 pria berstelan kemeja biru tua dengan celana jeans, serta seorang
polisi tengah menanti. Mereka saling
memperkenalkan diri. Namun Iwan satria
tidak ada. Ke-4 wakil buruh mempertanyakan
ketidak hadiran Iwan. Salah satu pria
berkemeja biru menjelaskan kalau Iwan tengah bersiap. Tak lama berselang mereka terlibat
pembicaraan ala kadarnya.
Ketika wartawan dan
wakil buruh lainnya asyik ngobrol, wartawan brewok dan kumisan yang pake kacamata
tebal minta ijin ke toilet, dan langsung di jemput seorang polisi yang ngarahin
ke ruangan lain. Iwan Satria nungguin dengan
tegang di sana. Lalu wartawan brewok
bergegas membuka topi, kumis, jenggot, dan berewok palsunya, mengeluarkan
perlengkapan rias, dan mengubah Iwan Satria menjadi sama persis si wartawan
gadungan sebelum membongkar kedoknya.
Di depan cermin, Iwan
Satria malah ngga kenal dirinya sendiri.
Narik napas panjang, dan bergegas ke ruang meeting.
Peserta meeting sama
sekali ngga sadar hadirnya ‘sosok palsu’ yang baru masuk karena asyik
berdialog. Mereka sangka orang yang baru
masuk adalah wartawan yang sama, yang tadi minta ijin ke toilet.
Beberapa menit
kemudian 2 polisi tergopoh-gopoh masuk ruangan, ngasih kabar kalau Iwan Satria
tiba-tiba drop kesehatannya, dan butuh penanganan medis. 2 pria berstelan biru yang tengah berdialog
minta ijin melihat situasi Iwan satria. Peserta di ruang meeting kisruh. Beberapa menduga akal-akalan Iwan. Tapi Iwan asli yang ada di tengah mereka
justru tersenyum kecut memikirkan langkah selanjutnya.
Seorang polisi dan
salah satu pria berstelan biru tua masuk ruangan, dan meminta ijin untuk
penanganan kesehatan Iwan. Wakil buruh
sepakat mendatangkan paramedis, tapi ngga ngijinin Iwan ninggalin pabrik,
kecuali kondisinya parah. Paramedis-pun
di hubungi.
3 wakil buruh keluar
menemui ratusan pendemo guna ngasih info kondisi Iwan. Mereka meminta para pendemo ngasih jalan
masuk ambulance yang bakal ngerawat Iwan di dalam pabrik. Pendemo setuju, dan ke-3 wakilnya masuk lagi
ke pabrik. 15 menit kemudian ambulance masuk
gerbang pabrik. Seorang dokter dan perawat
pria masuk membawa peralatan medis, tabung oksigen dan infus. Setengah berlari memasuki pabrik.
30 menit lewat,
dokter yang merawat Iwan njelasin kondisi Iwan yang ngga mungkin dialog sambil nyebutin
istilah-istilah kedokteran yang rumit, dan minta ijin mbawa Iwan ke Rumah sakit
toex perwatan lebih intensif, tapi di tolak wakil buruh. Akhirnya dokter nyerah
dan bakal berusaha sebisanya.
Setelah 40 menit
kemudian tidak ada kabar yang menunjukan kepulihan Iwan, akhirnya ke 4 wakil
buruh dan wartawan bersepakat dengan polisi untuk melihat kondisi Iwan. Atas ijin dokter, mereka hanya di perbolehkan
melihat dari jendela, tidak diperbolehkan masuk dalam ruangan.
Dari jendela kaca,
mereka menyaksikan sosok yang tengah berbaring dengan tabung oksigen menutup
sebagian mukanya, dan selang infus menggantung di sisi tempat tidur. Karena jarak dari jendela ke tempat tidur
yang agak jauh, Ke-4 wakil buruh yang mengenal Iwan satria sempat dilanda
keraguan apakah pria yang terbaring tersebut benar-benar sosok Iwan, atau
bukan. Namun potongan tubuh dan bagian
sisi wajah yang terlihat akhirnya meyakinkan mereka kalau sosok tersebut
sungguh Iwan. Merekapun sepakat menunda
dialog, sambil tetap menunggu di lingkungan pabrik, kalau kondisi Iwan membaik.
Dengan wajah kecewa
mereka bergerak ke luar.
Juru rias yang nyamar sebagai wartawan brewok, berkumis dan berjenggot keluar 20 menit
kemudian dengan seragam Polisi.
=================
Satu bulan kemudian
Riijsman di tilang Polisi waktu mbawa motor temennya. Dia lupa bawa dompet yang ada SIM-nya, dan
sialnya juga, lupa minjem STNK motor temennya.
Berusaha mengingatkan polisi akan namanya, RIIJSMAN, tapi bapak polisi
cuek dan pura-pura siap menulis di buku tilang.
Risman ngerti banget gelagat si polisi.
Dia coba nelpon Ridel, tapi ponselnya mati.
Riijsman melanjutkan
perjalanan. Rp. 100 ribu yang rencananya
buat bayar tagihan air dan listrik pindah ke tangan bapak polisi. Sumpah serapah ngga berenti muncrat dari bibir
Riijsman. Pengen banget dia ngirim
gambar bogem mentah pake multimedia ke HP Ridel, dengan tulisan: Ini baru
gambarnya, yang asli nyusul.
episode selanjutnya klik ini: http://www.robinticoalu.com/2014/06/temen-ketiga-youla-mince-moningka.html