Wednesday, September 25, 2013

Mana yang lebih sakti, Freeport atau Lautan kita ?

Ente liat gambar ikan di halaman ini ?  Di Manado namanya Ikan Cakalang.  Bahasa latinnya Katsuwonus pelamis (hush,..udahlah ngga usah pusing sama nama latin...hehe).  Ikan di gambar tersebut beratnya ngga lebih dari 150 gram.  Panjangnya kurang dari 20 cm.




Kalo anda tahu ikan fufu paling terkenal dari Sulawesi Utara, ya ikan cakalang ini bahan bakunya.

Tapi sebenarnya dalam ‘tatanan kehidupan’ penangkapan, ikan-ikan ukuran segitu belum layak di tangkap. Kenapa ? Karena potensi ikan-ikan tersebut jadi gede and bertelur, langsung raib karena udah di tangkep dari bayi. Dan dari sinilah saling ‘tarik ulur’ di mulai.

Pemerintah yang memegang amanat ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ berkewajiban mencegah punahnya generasi Cakalang dengan menetapkan aturan ‘tangkap pilih’

Tapi masyarakat yang meyakini bahwa seluruh isi laut (kecuali kapal selam) adalah milik umum berpandangan lain. Tapi ya wis,..males aku mbahas gituan. Ada yang lebih pakar...hehehe...

Gue lebih enjoy ngomongin apa yang udah ketangkep, dan ngga bisa dicegah pemerintah. Ya itu, ikan-ikan cakalang ukuran 100 – 300 gram/ekor. Tau ngga harga per-kilogramnya di pabrik-pabrik pengolahan di Bitung ? Antara 9750 – 11000 rupiah. Kalo di pasar tradisional ato supermarket pasti lebih mahal lagi.

Dalam itungan ‘kasar’ gue, untuk kurun waktu Januari – Agustus 2013, ikan ukuran segitu udah di tangkep dan diolah minimal 70.000 ton, yang kalo di rupiahin mencapai Rp. 735 Milyar, atau $ 66.818.181

Bukan itu aja. Ikan-ikan kecil tersebut, dipastikan memberi kontribusi postif buat kehidupan minimal 40.000 orang, baik langsung atau tidak. Hehehe....gue membual ? Ayo itung bareng asal-asalan aja.

Untuk nangkep ikan sebanyak itu selama 8 bulan, pasti ada kapal penangkap dan penampung. Taruhlah 100 kapal, yang ABK-nya rata-rata (anggap saja)10 orang. Berarti ada 100 orang langsung. Anggap dari 100, 70-nya berkeluarga dg 2 anak. 3 x 70 = 210. Berarti udah 310 orang. Pas ikan sampe di darat, harus di ‘bongkar’ oleh paling kurang 12 x 100 kapal = 1200. Dari 1200, 60%-nya punya 2 anak. 720 x 3 = 2.160 orang. Hehehe....baru sampe sini aja jumlahnya udah 3.670 orang. Belom di bawa ke pabrik pengolahan, entah pembekuan, ikan kaleng, ikan asap, dll. Belom badan resmi pemerintah dari Dinas pasar, DKP, sampe produk-produk ikan kecil tersebut di eksport ke berbagai lokasi, di dalam dan luar negri, yang pastinya juga melibatkan buruh pelabuhan untuk eksport via kontainer. Pokoknya dari hulu – hilir. Kayaqnya malah kurang deh kalo Cuma 40.000 orang.

Dari tangkap sampe eksport ikan-ikan kecil tersebut juga melibatkan pabrik dos, boots, usaha angkutan, baju kaos, tukang jahit, tempat kost, rumah makan, warung, waduh....cuma ikan-ikan kecil loh bo.

Coba iseng-iseng bandingin sama Freeport yg mendulang emas di papua. Kontribusi and dampaknya. Banyak penyakit (virus HIV banyak dari sono katanya), pengerusakan lingkungan (liat aja kerusakan alam di sono), pelacuran, konflik internal dan external, dsb. Berlebihan ngga kalo gue bilang freeport masih kalah ‘sakti’ sama kontrbusi yang diberikan laut buat kita semua. Masyarakat makmur, sehat, dan lingkungan ngga rusak. Eh, kita baru ngomong ikan cakalang 100 – 300 gram loh. Belom Tuna dkk, lobster, udang, kepiting, rumput laut, dll.

So, mungkin gue lebay. Tapi silahkan ente-ente pikir sendiri.

Akhirnya gue malah mikir,....apa mungkin pemerintah sengaja membiarkan penangkapan ikan-ikan kecil berlangsung terus, lantaran mereka juga tau kalo kalimat ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ udah bisa terpenuhi dari sono ? Walahualam.

No comments: