Hari ini 03 July 2012. 3 bulan setelah pabrik tempat kerja gue
‘sleeping with conflict’ alias ditutup karena konflik internal. Dari 120 lebih karyawan, tersisa 4 penunggu. Gue, dan 3 temen.
PT. Celebes Minapratama. Pabrik ikan yang ampir 11
taon gak pernah sepi aktifitas, sekarang tampak lusuh. Merana digerogotin karat
dan sarang laba-laba. Rumput dan pepohonan bambu semakin ribut saat ditiup
angin karena udah gondrong ngga pernah lagi dipangkas
Ketika si-Surya penunggu siang mulai ngantuk, gue
tunggangin smash biru my Dady yang udah seumur pabrik. Cuma lantaran dipake
sebatas rumah ama kebon, kilometer di speedonya baru 9550 km.
Dalam perjalanan menembus keremangan, gue biarkan
benak gue yang mulai genit menggerayangi untaian panjang waktu yang telah gue
lewatin. Mulai dari konflik unik
berkepanjangan antara 2 bos yang pemegang saham, bisnis istri gue yang mulai
menggurita, istri temen gue yang sakit parah, sampe rencana gue buat bisnis
trading yang belom juga menunjukan titik terang.
Memasuki Watudambo, gue sengaja jalan pas di
belakang truk container tanpa box, guna ‘mengamankan’ benak gue yang
berseliweran. Selain aman dari
kemungkinan diseruduk kendaraan dari depan, gue juga ngga diganggu lampu
mobil yang menyilaukan.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Entah kenapa, gue seolah ‘menikmati’ posisi netral
gue dalam konflik 2 pemegang saham.
Indonesia vs Jepang. Sama-sama kaya dan berkuasa. Juga sama-sama kukuh dengan
pendiriannya. Konflik yang bukan cuma
nyedot dana extra gede, tapi juga energi. Sedangkan asset itu sendiri, PT.
Celebes Minapratama berangsur-angsur susut dan menua. Tertidur pulas tanpa
telur emas. Padahal, total assetnya sekitar 30 Milyar.
Tanpa sadar, gue terkondisikan sebagai mediator
yang njembatanin komunikasi kedua pihak yang beseteru. Tahu banyak kiat-kiat
kedua pihak untuk saling merobohkan kekuatan lawan. Piranti hukum dan kewenangan pemerintahpun jadi
salah satu lokomotif toex menguak borok lawan. Plus kesaktian mental dalam
mengelola stress. Walau ujungnya kembali pada tradisi hukum rimba: “yang kuat,
yang akan bertahan..”
Sebagai penganut aliran simple people, gue heran
sama pola pikir orang yang duitnya ngga cukup disimpen di dua Bank, koq harus
nempuh jalur ruwet kalo ada jalur yang simple...? koq harus nunggu tekanan
darah naek kalo bisa mempertahankan kegembiraan...?
Mungkin bener mereka bilang: “it isn’t only about
money Robin...!”
Lalu apa...?
“Ini persoalan harga diri dan kredibilitas..”
Oh my God,...ajarin gue dong apa arti harga diri
dan kredibilitas.
Kenapa sich banyak orang berantemin duit pake
bawa-bawa harga diri sama kredibilitas....? Apa emang gue segoblok ini sampe
bingung mengklasifikasikan 10 milyar, harga diri dan kredibilitas....?
Apa gue juga harus ragu untuk bersyukur,ato merasa
terkutuk sebagai penganut aliran simple people...?
--------------------------------------------------------------------------------
Memasuki by pass, seekor motor
(hehe,..)
gede ijo jalan sejajar gue. Penumpangnya laki-laki muda berjaket kulit dan helm
item. Di pinggangnya melingkar tangan
gemulai dengan gaya duduk yang agak nyembul ke atas, dengan dada yang lengket
di punggung si-pria. Berjaket jeans dan celana pendek. Walau agak gelap, mata tua
gue masih bisa memastikan kaki panjangnya yang putih mulus dan padat. Rambutnya
yang halus tanpa helm tergerai-gerai disisir angin (tapi ngga ada ketombe yang
jatuh...)
Cewek noleh dikit waktu gue pelototin, dan
langsung nempelin dagunya lagi di bahu laki-laki (mungkin dikiranya gue karung
beras kali. Hehehe...)
Ngga lama kemudian, motor ijo tadi menyalip truk,
dan melesat dikegelapan malam. Gue sendirian lagi di belakang truk.
Tiba-tiba otak gue diingatkan sama salah satu film
‘Taxi’ yg dibintangi wanita kulit hitam bertubuh subur, yang secara kebetulan
berteman polisi lugu yang sering kena damprat bos cewek yang ditaksirnya.
“Supaya santai nyetir, coba deh loe nyetir sambil
nyanyi..!” kata wanita supir taxi di
salah satu adegannya.
Gue-pun
ngikutin saran tersebut. ‘Tiada yg lain’-nya Fenomena
Semilirnya,
angin malam ini
Membuaiku
larut dalam lamunan, hayal tentang keindahan
Dunia
fana ini
Kasih
semu yg pernah kau curahkan
Membawa
diperjalanan hidup ini
Tapi
resah dan gelisah slalu menghantui
Karena
sikapmu yang tak pasti
Kucoba
melupakan dirimu, karena kutahu pasti sifatmu
Agar
aku tak slalu rindu padamu, kasih
Semakin
aku lupakan, semakin aku sadari
Cintaku
hanya padamu seorang kasih
Tiada
yang lain
Masuk Airmadidi, gue reflex nengok ke langit (kebetulan
langit juga melototin gue).
Bulan putih memendar indahnya. Menyirami malam dan jalan yang gue lewatin.
Beberapa awan tipis (setipis Laurie Maxi..) baris sambil bergandengan
tangan. Mirip sayap-sayap bidadari yang pengen mandi (iihh,
knape gue juga jadi pengen mandi sichhh...)
Benak gue memanggil lagi memori masa muda gue.
Waktu gue 20’an. Waktu angkutan umum cuma ST 20, waktu rokok belom terasa
nikmat karena harganya cuma
Rp.500/bungkus, waktu pertama ngerasain hangatnya bibir orang lain, waktu Manado
ngga pernah macet, waktu minyak tanah Rp.100/liter, waktu tinutuan masih Rp.250
sepiring, waktu pemilik
motor bisa diitung pake jari, waktu boulevard masih tempat parkir perahu
(karena mall belum menetas), waktu telinga kiri gue masih dipasangin 4 biji anting
(anting pepaya, mangga, pisang, jambu yg gue beli di pasar minggu)
Rembulan di langit Airmadidi masih ngikutin motor
gue.
Gue inget pertama kali gue jadi Honda di Bappeda
Sulut. Gue inget pertama kali nyium
aroma ikan yang memuakan saat nyari kerja di tanah Bitung. Gue juga inget waktu
pertama kali terima gaji di perusahaan swasta, Rp. 180.000/bulan. Gue juga
inget kalo walikota Bitung sekarang, kalah di pemilihan putaran pertama.
Dan gue masih inget, kalo Rembulan di langit
Airmadidi ternyata masih sama.
Walau semua kini telah berubah. Hehehe,..gue aja
sekarang 41.
Akhirnya,...gue nyampe di rumah ortu. Bertepatan
sama jam sinetron favorit gue: Tukang Bubur Naik Haji dan Raden Kian Santang.
Waktu nutup pager, gue noleh lagi ke langit. Di sana, di langit Airmadidi, Rembulan
tersenyum ke gue. Seolah berpesan:
“Bin, dalam keadaan apapun, berpihaklah selalu pada
kebenaran…”
No comments:
Post a Comment