Tuesday, December 28, 2010

TAHUNA, KOTA KECIL YANG MISTERIUS

Dari kapal Marin Teratai
8 hari menjelang usainya 2010

Seperti tahun-tahun sebelumnya, sejak 15 Desember, pelabuhan Manado selalu sesak oleh lautan manusia yang mudik ke Tahuna, Siau/Tagulandang, serta Talaud, guna menyambut Natal & Tahun Baru. Mulai dari pedagang, pelajar/mahasiswa, pegawai, pejabat, buruh, hingga Tentara, berduyun-duyun dengan beragam jinjingan, dari koper lux, hingga dos-dos. Pemandangan yang sangat lazim.
            Berbekal tiket ‘alas,’ sayapun berjejalan antara ratusan penumpang Marin Teratai, mencari sejengkal ruang tuk habiskan malam menuju Tahuna. Dan tepat di bawah cerobong yang bersebelahan dengan wc umum yang suhunya bagaikan oven yang tengah ‘ON,’ saya hempaskan bokong jumbo ini dengan lega (sambil berharap hujan tak turun menyapa malam ini)
            Jam digital di Nokia 1200 saya menunjukan pukul 20.10 saat Marin teratai beringsut perlahan, membelah kesunyian malam. Geliatnya menyisakan gelombang kecil dan buih putih bagi warga Manado. Di ujung geladak, beberapa penumpang melambai pada para pengantarnya. “Selamat tinggal Sulawesi Utara..!” Kelakar salah satu anak muda berambut gondrong.
            Hampir 10 buah mercon dilesatkan salah satu penumpang ke udara. Percikan api warna-warni memendar anggun di kegelapan langit Manado. Melepas keberangkatan Marin Teratai yang meluncur anggun ke satu noktah kecil pada peta Sulawesi Utara. Sebuah kota yang misterius. Tahuna.
            Misterius…? Ada apa sih dengan Tahuna..? Vampire, voodoo, zombie? Ah, tidak ada apa-apa dengan Tahuna. Bahkan sama biasanya dengan 14 tahun lalu, saat pertama kali saya menginjakan kaki di sana (hehehe,…koq mirip Neil Armstrong wkt pertama kali menginjakan kakinya di bulan ya..). Tidak ada perubahan significan, selain kantor Bupati baru di bekas pekuburan, di Kelurahan Soataloara.
Keisengan saya (mungkin juga kebodohan) kembali mengembara. Menyeruak mencari ruang jawab.

            Jika kita melihat seorang bocah kurus, lusuh, dan tampak tak terurus, kita akan berasumsi kalo si-bocah berasal dari keluarga tidak mampu (sebuah paradigma umum bukan..??). Tapi kita pasti terhenyak saat tahu kalau si-bocah justru berasal dari keluarga kaya. Tak ayal, kita akan menyesalkan orangtua si-bocah yang menelantarkannya. Membiarkannya hidup bagai gembel, yang merana dalam kemakmuran.
            Begitulah gambaran kota Tahuna. Kota kecil yang memiliki hampir semua kriteria untuk memperoleh predikat makmur. Karena ditinjau dari potensi Sumber Daya Alam, Tahuna bukanlah gurun pasir yang hanya dipenuhi kalajengking dan ular derik. Tahuna punya jutaan batang kelapa, cengkih, pala. Itupun masih harus ditambah dengan potensi hasil laut yang beragam dengan kelimpahan. Rumput laut, Teripang, serta ikan-ikan ekonomis penting yang mungkin telah banyak ’dirampok’ negara tetangga.
            Selain itu, Tahuna juga punya pesona alam yang tidak murah untuk bisa di jual sebagai object wisata. Tinggal kepiawaian memolesnya. Dan yang tak kalah penting, Tahuna punya generasi berkualitas ’berlian’ yang tersebar di segala penjuru mata angin tanah air. Mulai Profesor, Doktor, dan Insinyur. Tinggal ’tunjuk satu bintang’.
Malahan, dari kota Tahuna sendiri telah ’lahir’ beberapa lulusan yang dikandung sebuah politeknik dengan staff pengajar yang biasa ’memoles’ para Master. Coba tanya orang Tahuna, siapa yang tak kenal Politeknik Nusa Utara. Mungkin hanya balita.
Dengan semua fakta tersebut, ironisnya, saya justru melihat Tahuna bagaikan bocah ingusan yang lusuh, kurus dan tak terurus. Laksana kastil kusam di tengah pulau berselubung kabut, dengan lolongan srigala di kejauhan. Penuh misteri.
Tapi Tahuna akan tetap sebagai Tahuna. Kota kecil Kabupaten yang dengan mudahnya diperoleh produk-produk negara tetangga, Philiphina. Kota kesayangan wanita tercinta yang telah melahirkan 2 gadis kecil, yang memberi keindahan dalam hidup saya. Kota nostalgia, dimana saya ditahbiskan di depan altar Gereja.

Bagian Akhir

Sambil berdiri di pinggir pantai dekat pelabuhan, saya membayangkan Mahatma Gandhi berdiri di samping saya.
”Alam Tahuna mampu mencukupi kebutuhan tiap penduduknya, tapi.....”  Bisiknya
Ah, lamunan saya dikejutkan suara tukang ojek yang menawarkan jasanya. Saya menolak halus, dan kembali pada khayalan tentang kata-kata Mahatma Gandhi yang tidak selesai. Lagi-lagi sebuah misteri. Yang terkandung dalam kalimat sesudah kata ”Tapi.......” dari petuah seorang Mahatma Gandhi.


(seandainya Tahuna bisa bicara, ia pasti tahu misteri yang menyelubunginya. Misteri kenapa ia tampak begitu kurus dan lusuh. Padahal,.......)



Thursday, December 16, 2010

PERBAIKAN INTEGRITAS ADALAH SEBUAH PR

“Siapa anda, dapat diketahui dari teman-teman anda.”                                                    
Dulunya saya mengira arti statement tersebut adalah: deskripsi tentang anda bisa anda cari tahu dari penuturan rekan-rekan anda. Tinggal kirim sms, trus Tanya:”Eh, kamu kan kawannya si-anu. Gimana sih dia orangnya?”
Sms balesan datang:”oohh dia tuh tinggi, gendut, giginya udah banyak yang ompong, sok tahu, lebay, jarang mandi,.bla..bla…”

Ternyata persepsi saya salah besar, karena arti statement tersebut lebih cenderung pada strata, kelas, atau level. Dengan kata lain, pada level mana anda berada, tergantung dengan siapa anda menghabiskan waktu keseharian anda. Apakah dengan Kepala Dinas, Pengusaha besar, Bupati, Gubernur, atau malah buruh pabrik.
Kalo temen-temen kita adalah para sutradara, koreografer, pelukis, satrawan, pastinya kita akan dicap sebagai seniman. Atau, kita akan dikelompokan sebagai pengusaha kalo kita berteman dengan anaknya Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Surya Paloh, atau anaknya Eka Cipta Wijaya.
Tapi yang jadi masalah adalah, saat teman-teman yang kita miliki terdiri dari mucikari, tukang bakso, tukang sayur, fotografer, dosen, pengusaha, wakil bupati, bankir, buruh pabrik dan tukang pijit, lalu kita akan di cap sebagai apa? Hahaha……Rohaniawan mungkin.
Diakui atau tidak, walau hal ini terlihat secara samar, tapi fenomenanya memang begitu. Banyak dari kita yang memandang masih perlunya pengklasifikasian jenjang sosial dalam kehidupan bermasyarakat, dalam terminology kelas atau level.  Ayam Cuma berteman dengan ayam, dan kuda hanya berteman dengan kuda (ya iyalah,. ...masa sih ayam berteman dengan buaya,..ntar di telen kaleee…Hehe…)

Padahal kalau saja kita mau belajar dari sejarah, pastilah kita ingat mengapa kita bisa di jajah para kompeni alias Belanda, selama 350 tahun. Bukankah penyebabnya adalah perjuangan yang di dasarkan atas kelompok-kelompok, atau level-level daerah, sehingga dengan mudahnya diacak-acak para Londo dengan politik Devide Et Impera-nya. Koq masih juga suka meng-eksklusivkan diri ya?
Daripada kita sibuk berpikir untuk mendongkrak ‘kelas dan level’ kita, hingga berakhir seperti kasus Gayus Tambunan,  mungkin jauh lebih baik kita belajar untuk memperbaiki karakter dan integritas pribadi, yang dimulai dari rumah kita masing-masing. Pada anak-anak kita. Hingga kelak kita bisa dengan bangga menciptakan statement pengganti: “Siapa diri kita yang sesungguhnya, dikenali dari integritas pribadi kita.”

MENGGAPAI PUNCAK KEHIDUPAN

Saat masih aktif bertualang dari gunung ke gunung, saya merasa,  jika mendaki  gunung baru dengan tuntutan ‘harus’ sampai puncak, seolah ada beban tambahan yang membuat gunung itu bertambah tinggi. Berbeda jika saat memulai pendakian , saya hanya ingin menggapai puncak, tanpa disertai beban ‘harus’. Kenapa? Saya tidak tahu persis. Mungkin berkaitan dengan sebuah area dalam diri kita yang disebut sebagai ‘mental’.

Saat saya mendaki tanpa disertai  embel-embel ‘keharusan’, saya melakukan pendakian  dengan penuh keriangan. Step by step.  Karena saya percaya bahwa puncaknya tak akan berpindah dari tempatnya, hanya karena saya terlambat 3 jam, 24 jam, atau menundanya sekalipun. Kecuali saya berhenti mendaki. Namun selama saya tetap mendaki- walaupun hanya 2 langkah lalu istirahat- niscaya saya akan tetap sampai pada puncaknya.

Saya percaya,  sebagian besar orang berusaha mencapai ‘puncak gunungnya’ masing-masing dalam hidup mereka. Entah dalam bentuk harta yang melimpah, jabatan ataupun karir.

Sebuah ‘keharusan’ dalam mencapai ‘puncak’ kerapkali dihubungkan dengan kebanggaan, atau penerimaan .  Kalau saya mencapai ‘puncak’, orang akan mengaggumi saya. Saya akan lebih dihormati. Prestise saya akan meningkat di tengah masyarakat.”

Dalam ‘keharusan’ tak jarang seseorang akan melewati ‘jalur-jalur negatif’ yang melanggar norma-norma kepatutan dan  norma hukum.  Bahkan dalam dialetika ‘keharusan’ sering di dapati, seorang akan mengalami kepenatan psikis jika tak mampu memenuhinya.

Seorang anak yang dituntut ‘harus’ juara 1 oleh orang tuanya, akan melalui sebuah proses yang baginya ‘menyakitkan’, karena juara 1 bukan kesenangan pribadinya, melainkan ‘keharusan’ yang dipikulnya.

Begitupula dengan orang yang merasa ‘harus’ mencapai puncak karier demi penerimaan dari tetangga, teman atau orangtua. Mereka cenderung over protective, bahkan tak jarang menghalalkan banyak hal. Termasuk menggadaikan integritas.

Orang-orang dengan karakter yang kuat, melakukan sesuatu tidak di dasarkan atas ‘keharusan’, melainkan keinginan.  Bukan ‘keharusan’-lah yang menggerakan Thomas Alva Edison untuk jadi  penemu lebih dari 1000 ‘item’ paling legendaris sepanjang sejarah.

“Hidupku bagaikan aliran sungai yang semakin hari semakin deras.” Adalah ekspresi keinginan  yang diejahwantahkan dalam bentuk karya nyata, sehingga membawa Dahlan Iskan sebagai CEO Jawa Post, serta Dirut PLN yang inspiratif. 

Keinginan pulalah yang mendorong anak muda brilliant ‘penemu’ Facebook menjadi salah satu anak muda paling sukses.           

Salah satu mantan ‘guru’ saya, merasa nyaman dengan gelar S2 yang telah begitu lama di sandangnya, tanpa merasa ‘harus’ menggapai S3, yang bahkan telah dicapai oleh puluhan bekas anak didiknya. Ia bahagia dengan ‘puncak’ yang telah di capainya. Dan ia bahagia menjadi ‘acces’ lahirnya puluhan S3.

(Terkadang, feeling dalam menentukan jalan yang harus dilalui guna menuju puncak juga berperanan penting . Karena, walau kita tahu bahwa jalan ke puncak  adalah keatas, namun faktanya, perjalanan menuju puncak gunung terkadang harus melewati  ‘ punggungan’ bahkan justru  menuruni lembah,  baru kemudian naik lagi)

Ada beberapa tipe orang dalam mencapai ‘puncak kehidupannya’

a.   Tipe Guide. Para Sherpa di Mount Everest, tahu persis jalur ke puncak. Tapi mereka hanya  membantu membawa barang, sekaligus menunjuk jalan para pendaki.  Mereka pernah mencapai puncaknya. Kebahagiaan Tipe Guide akan terpenuhi saat yang diantarnya berhasil mencapai puncak.
b.  Tipe Pendaki pemula. Cirinya: Semangat menggebu, mental payah, tidak punya data yang lengkap tentang jalan menuju puncak.  Peluangnya untuk mencapai puncak adalah fifty-fifty. Tipe ini adalah orang yang tidak pernah konsisten menekuni kariernya, dan senantiasa berganti profesi.

c.   Tipe Pendaki musiman. Walau tipe jenis ini memahami seluk beluk pendakian, dan pernah beberapa kali mencapai puncak, namun baginya mendaki gunung bukanlah panggilan jiwanya. Karena prosesi pendakian hanyalah mengikuti trend semata, alias musiman.
d.   Tipe Pendaki sejati. Adalah orang-orang yang baginya mendaki gunung merupakan panggilan jiwa. Hingga ‘ritual’ pendakian bukanlah beban bagi dirinya, melainkan sebuah seni petualangan yang dilakukan dengan kesenangan dan keriangan hati. Ia tidak diikat oleh ‘keharusan’ apapun, sehingga ia begitu menikmati tiap langkahnya. Tak perduli jasadnya menyatu dengan apa yang dicintainya. Alm. Norman Edwin dan Didiek Syamsu, adalah contoh  pendaki sejati yang tewas di Gunung Aconcaqua, Argentina.


“Tuhan menyukai orang yang berani” merupakan moto para climber. Berani berpijak pada apa
yang diyakininya. Karena, seorang yang tak memiliki keyakinan, sesungguhnya ia tak punya apapun yang bisa di banggakan.

Wednesday, December 8, 2010

HIDUP ADALAH PERJALANAN DALAM PENANTIAN

Di jalanan Girian, kota Bitung. 

Selasa, 30 Nopember 2010. Pukul 23.30

Entah apa yang membuat saya ingin menikmati malam di jalanan saat ini. Tanpa banyak pertimbangan, saya pacu smash butut hadiah bos, tuk merayapi kesunyian aspal Girian. Sambil menunggu sepiring nasi goreng yang diracik pemuda berlogat Jawa kental, saya ‘memanggil kembali’ memori dalam sel-sel  otak saya.

Satu demi satu file-file ‘uzur’ berkelebat di kepala. Mulai dari kisah Taman kanak-kanak, hobi ayah yang kerap mengajak saya nonton bioskop di daerah Palmerah,  masa remaja yang syarat dengan fantasi, petualangan anak muda menyerempet bahaya, bergaul dengan wanita, bekerja sebagai buruh pabrik, menikah, punya anak yg menggemaskan, dst.

Saya mencoba mencari ‘sesuatu’ yang saya sendiri tidak tahu apa, hingga dengan terlambat menyadari, bahwa ternyata hidup adalah sebuah ‘antara’ yang memisahkan dua kata: Kelahiran dan Kematian.

Ketika kita dilahirkan, dan menyadari kehidupan, ternyata kita tinggal menunggu kematian. Artinya, proses menjalani kehidupan, sesungguhnya hanya sebuah ‘selingan’ panjang dalam penantian akan kematian.

Suatu ketika saya melihat kehidupan penyu. Sang induk bertelur di pasir, lalu telur menetas, dan penyu-penyu kecil berlarian menuju laut. Ada yang berhasil, namun tak sedikit yang mati. Lalu, yang hidup akan mencari makan, tumbuh dewasa, kawin, bertambah banyak, dan mati. Tak ubahnya dengan siklus hidup kita, manusia.

Saya kembali merunut waktu-waktu yang telah saya lewati, dan mencoba memaknai ‘selingan’ ini. Ah,  apa bedanya saya dengan hewan, jika pada ‘perjalanan dalam penantian’ ini hanya saya isi dengan ‘ritual’ mencari makan, kawin, bertambah banyak dan mengumpulkan harta..??

Faktanya, saya memang tidak mungkin menolong semua orang yang membutuhkan saya. Tapi setidaknya, saya sudi membagi beberapa sendok nasi yang tengah saya makan, pada orang di dekat saya, yang memang menderita karena rasa lapar. Bukan,…bukan karena saya harus. Namun karena saya ingin. Bukan karena saya ingin dicap sebagai dermawan, namun karena panggilan hati yang tulus dan ikhlas.

Saya tidak pernah sungguh menyadari, mengapa Indonesia memiliki pahlawan. Mengapa dunia punya Thomas Alva Edison, Hellen Keller, Mother Theresa, Mahatma Gandhi, hingga saya paham makna ‘selingan’ pada ‘perjalanan dalam penantian’.  Hingga saya paham, bahwa berbagi, adalah kosa kata terindah yang tak akan pernah usang dalam peradaban kita, manusia.

Sebaris kalimat pernah saya baca pada sebuah kaos: “Kualitas kemanusiaan kita tidak diukur dari seberapa banyak yang kita kumpulkan. Namun dari seberapa besar kita memberikan arti bagi kehidupan itu sendiri”

Sederhana memang. Tapi dipikir-pikir, mungkinkah kita mengaku beribadah pada Tuhan yang tidak terlihat secara fisik, jika faktanya kita membuat manusia lainnya seolah ‘tiada arti’…?

Malam semakin beranajak, dan temaram lampu mulai meredup. Beberapa kios bersiap untuk tutup. Di seberang jalan, 2 orang bocah mendorong gerobak, berpindah dari satu tong sampah ke tong lainnya, mengais sisa siang yang hingar bingar kampanye salah satu pasangan Walikota dan wakilnya.

Saya termanggu dalam kegamangan. Ah, aku harus pulang, menemui orang-orang tercinta, dan….kembali dalam ‘selingan’

Monday, November 22, 2010

GAYUS, SI LEMBUT YANG JENIUS

Bosan membaca atau mendengar nama Gayus? Wajar. Karena sudah hampir 12 bulan bersih, nama ini selalu didengungkan sebagai salah satu koruptor terbesar Indonesia yang ‘bisa dibuktikan’ keabsahan korupnya. Ah, sudahlah. Kita coba liat dari perspective berbeda.
Saya pernah nonton film tentang perampokan bank (sayang saya lupa judulnya), yang begitu unik dan jenius. Gerombolan rampok masuk ke sebuah bank, lalu mengunci bank tersebut, menyandera semua orang dalam bank, menjarah isinya sebanyak mungkin, lalu keluar dengan aman di tengah kepungan ratusan polisi yang siap dengan senjata terkokang, tanpa korban sama sekali.
Beberapa hari kemudian, beberapa rampok yg lolos dengan jenius itu balik lagi ke bank dengan menyamar sebagai cleaning service, dan mengambil hasil rampokan yang mereka simpan di bagian lain dari bank tersebut. Tapi, bagaimana mereka bisa lolos dengan aman di tengah kepungan polisi?
Sebelum melakukan perampokan, mereka membawa topeng yang sangat banyak, dengan model yang sama persis dengan yang mereka pakai saat merampok. Setelah melakukan penyanderaan dan negosiasi yang mempermainkan psikologi polisi, mereka memakaikan pada semua sandera, topeng yang sama dengan yang mereka pakai. Setelah menciptakan kegaduhan, mereka bergabung dengan semua sandera, lalu menjerit ketakutan keluar bank. Polisi bingung melihat semua orang berhamburan keluar dari bank dengan topeng yang sama. Entah mana perampok, mana sandera. Bahkan saat interogasi perorangan dilakukan, tak seorangpun yang keluar dari bank tersebut yang dapat menunjukan dengan yakin, mana foto perampok, mana sandera.  Hingga akhirnya polisi membebaskan semua orang dalam bank tersebut. Termasuk para perampoknya.
Balik ke Gayus. Memang tidak ada kemiripan sama sekali proses perampokan dalam film, dengan aksi korupnya. Hanya cara melakukannya-lah yang sama, yakni dilakukan dengan cara yang jenius. Brilian. Tokcer. Namun lembut. Hahaha….
Memang sulit untuk mengakui ‘sisi jenius’ Gayus, karena perbuatannya merugikan Negara. Bagaimana tidak, seorang yang ‘hanya’ lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi, bisa mengangkangi system yang dibentuk melalui proses panjang dan melelahkan oleh para pakar hukum dan keuangan bertitel Doktor dan Profesor (mungkin).
Untuk sesaat, saya coba menghayal jadi Gayus, sewaktu akan melakukan nego pajak dengan para pengusaha super kaya. Saya coba pake cara keras dan intimidasi. Tapi saya mikir, mana mungkin golongan saya ‘cuma III/A’ bisa mengintimidasi mereka, orang-orang intelek dan berkuasa dengan uangnya. Saya harus pake cara lain. Satu-satunya pilihan yang paling logis adalah dengan kelemah lembutan, dan kepiwaian mengolah kata.
Dan, mau tak mau saya harus mengklaim bahwa Gayus adalah sosok yang lembut. Dan itu memang terbukti saat dia menangis di pengadilan setelah tertangkap nonton tenis di Bali, guna melihat kelembutan Sharpova.
Saat memilih topik ini, saya coba mengotak-atik internet, guna mendapati sejarah pendidikan Gayus dari SD s/d Lulus dari Sekolah Tinggi Keuangan. Tapi nihil. Tak satupun biografi yang mencantumkan nilai-nilai sekolahnya. Lalu tanpa sengaja, saya melihat foto Prof. Dr. B.J Habibie, mantan Menristek dan Presiden R.I. Astaga, saya melihat adanya kemiripan sorot mata keduanya. Foto Gayus muda yang mengenakan jas, dan foto Prof. B.J Habibie mengenakan peci. Bukankah ada pendapat yg menyatakan bahwa kadar intelektual seseorang juga bisa dinilai dari sorot mata?
Eits, jangan salah paham dulu. Saya tidak mensetarakan Prof. Habibie dengan Gayus loh. Saya Cuma tulis, ada kemiripan sorot mata. Karena, siapa tahu tingkat intelektual Gayus sama dengan Prof. Habibie. Buktinya,…..Gayus lagi…Gayus lagi (Berita menghebohkan terakhir: Gayus kabur dari penjara).
Kan yang kelabakan karena si-Gayus kebanyakan orang-orang pintar. Berapa banyak sih orang pintar yang kerepotan begini model menghadapi ‘orang tolol’? Kecuali, orang yang lebih pintar yang di hadapinya….….
(Kalo kebetulan Gayus sempet mbaca, gue cuma mo bilang, kamu jangan seneng and bangga dulu. Gue bukan mbelain kamu, karena gue emang bukan advokat. Gue cuma amatir yang doyan ngetik. Gue Cuma penasaran dan pengen tahu: 1. Apa sih cita-cita kamu waktu SD? (gue yakin pasti bukan koruptor) 2. Siapa sih tokoh idola kamu waktu kuliah? 3. Apa sih motto hidup kamu?)
Sekiranya aja ada yang bisa menyampaikan pertanyaan ini pada Gayus Tambunan, saya sangat berterima kasih sekali.

Monday, October 25, 2010

CELANA DALAM SANG MAHASISWI

(Kisah yang rada konyol ini terjadi saat ‘calon  cerdik pandai’ lagi KKN  di  desa  salah satu pelosok Minahasa)

KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang disetting sebagai ‘bekal’ calon cerdik pandai untuk memperluas wawasan, membentuk mental mandiri, and bersosialisasi dengan masyarakat, justru lebih banyak membawa kisah beraroma petualangan para calon pemangku gelar Sarjana.

Sebut aja Riska, mahasiswi cantik nan imut calon Cum Laude.  Di tempatkan di salah satu sudut Minahasa. Peristiwa unik mengusik kenyamanannya. Celana dalamnya raib dari jemuran di hari ke-3 per-KKN-nya.

Doski diam waktu yang hilang cuma satu helai. Mungkin ditiup angin, pikirnya.  Maklum, jemurannya kan sederhana-cuma dari anyaman ijuk- Tapi doski ’terpaksa’ ribut  waktu yang kedua, tiga dan empat juga ikutan hilang.
ngunduh dari mbah Google

Akhirnya kasus empat celana dalam yang raib ini melibatkan Hukum Tua (hampir sederajat dengan Lurah) kampung tersebut. “Kalo harganya murah sih saya rela pak. Tapi ini Wacoal,” protes Riska

Hukum Tua terdiam memandangi wajah cantik Riska yang putih mulus (mungkin diamnya karena lagi ngebayangin Riska mengenakan Wacoal-nya yang hilang)

Hehehe,...wanita kota tahu persis ‘kelas’ Wacoal. Kualitas bagus, and harga selangit. Tapi buat orang kampung, Wacoal mungkin cuma sejenis coklat bubuk yang diminum pagi dan sore hari untuk menghangatkan tubuh.

Bag bendungan jebol, hilangnya empat ‘Wacoal’ Riska meyebar ke seantero kampung (mirip dengan hebohnya pengakuan Susno Duaji beberapa waktu lalu).

Semua orang akhirnya tahu ukuran, model, warna, sama bandrolnya.

Bisa buat beli beras seminggu.” Seorang nenek melongo karena takjub.

Singkatnya, keempat celana dalam tersebut ngga berhasil ditemukan. Hilang seperti banyak keperawanan.

Keperawanan ? Masih punya artikah kata itu di jaman sekarang ? Mana sich sebenarnya yg lebih penting: selaput tipis yg bisa dioperasi jadi seperti semula, ato hati pemiliknya ? Hati yg perawan.    

Sehari  menjelang KKN usai, para mahasiswa  dikejutkan oleh ‘kembalinya’ empat celana dalam Wacoal tersebut. Terbungkus  rapi dalam kertas Koran.

Yang menggelitik adalah isi  surat yang ditulis tangan, dan terlipat bersama empat celana dalam tersebut. Bunyinya:

 “Sayang sekali barang semahal ini hanya untuk menutupi kemaluan. Padahal, anda tidak sudi memperlihatkannya pada orang lain waktu lagi di pakai.”

Calon cerdik pandai pulang dengan rasa malu. Dipermalukan oleh keluguan masyarakat desa.

Mungkin kita ikut tersenyum membaca kisah tersebut. Tapi tanpa sadar, sesungguhnya kita juga sering melakukan hal yang sama. Ah, orang kota memang banyak anehnya. Selalu aja ribut soal ‘pembungkus’. Soal penampilan luar. Tanpa perlu pusing soal kualitas ‘yang dibungkusnya’

JIKA TERSESAT SAAT MENDAKI/TURUN GUNUNG

Ada beberapa factor yang sering menjadi penyebab seseorang hilang/tersesat saat pendakian, atau ketika turun/pulang. Seperti kurang mengetahui medan, melewati rute baru, atau karena pengaruh ‘hal-hal gaib’.
(Catatan: tanpa bermaksud menakut-nakuti, hal gaib bukanlah isapan jempol. Karena beberapa pendaki mengalami hal tersebut. Sesuatu yang kurang logis memang)
Namun penulisan ini tidak membahas persoalan ‘gaib’ tersebut, melainkan terfokus pada kondisi logis yang dapat ‘dikendalikan’
-     Tenang. Jangan gugup.
Dalam ketenangan, biasanya seseorang dapat lebih jernih mencari solusi

-     Kurangi perjalanan saat malam hari
Sebaik apapun alat penerangan yang di gunakan  pada malam hari, masih jauh lebih baik jika perjalanan di lakukan pada siang hari. Selain jarak pandang lebih luas, juga lebih memungkinkan untuk mengantisipasi jurang, serta binatang buas.
   
-     Ikuti aliran air (jika di temukan)
karena sifat air yang senantiasa mencari tempat yg lebih rendah, maka dengan mengikuti ailirannya, peluang untuk menemukan jalan pulang akan lebih terbuka

-     Gunakan alat komunikasi
Perkembangan tekhnologi komunikasi, akan lebih memudahkan pendaki masa kini untuk melakukan kontak saat tersesat.

-     Perhatikan petunjuk pada alam sekitar, seperti arah terbit dan terbenamnya matahari, lumut pada batang-batang pohon, ukuran pohon, jejak kaki hewan. Kejelian dalam melihat petunjuk pada alam pegunungan akan sangat membantu untuk menemukan jalan pulang. Sbg contoh adalah ukuran batang pohon. Pada beberapa gunung, semakin besar ukuran batang pohon, mengindikasikan bahwa pada lokasi tersebut tdk jauh dari puncak gunung. Begitupula sebaiknya.

-     Cari jalan turun
jika seseorang tersesat saat hendak pulang, maka hal paling sederhana adalah mencari jalan turun. Dalam kondisi ini, tidaklah terlalu penting jika ‘jalur normal’ tidak ditemukan. Yg terpenting adalah ‘turun’

-     Hemat persediaan makanan dan minuman, sambil memakan buah/tumbuhan yang ada di alam. Untuk makanan, buah yang dimakan hewan mamalia, umumnya ‘aman’ untuk di makan. Selain itu, daun-daun yang tidak bergetah dan berbulu, dapat di makan, dengan terlebih dulu mencicipinya, dalam jumlah sedikit.

Thursday, October 21, 2010

SARAN SEDERHANA MENJELANG MENDAKI GUNUNG

Bagi sebagian orang yang menggemari petualangan di alam bebas, mendaki gunung  bukan hanya sekedar petualangan, namun perpaduan antara olah raga, kesenangan dan seni. Selain menarik, mendaki gunung juga beresiko. Khususnya bagi pendaki pemula. Karena pada ketinggian dan kesunyian alam pegunungan, hal-hal tak terduga sangat mungkin terjadi.  Tersesat dan kecelakaan, bukan hal baru dalam kegiatan tersebut.

Walau mendaki gunung bukanlah aktivitas yang terlalu sulit, namun tidak berarti bisa dianggap enteng, sebagaimana halnya  belanja ke Mall.
Melihat kenyataan masih banyaknya kecelakaan  yang menimpa beberapa pendaki akhir-akhir ini, menggunggah saya untuk membagikan sedikit pengetahuan sederhana sebelum melakukan pendakian.
1.    Persiapan Awal

a.  Persiapan Fisik dan mental
Pada kenyataannya, banyak pendaki yang menganggap remeh factor ini. Sebaiknya batalkan pendakian jika kondisi fisik kurang fit. Krn selain menyulitkan perjalanan, juga kerap menyulitkan rekan lain. Begitupa dengan factor mental. Sebaiknya jangan jadikan gunung sebagai ajang latihan mengatasi rasa takut kegelapan, ketinggian, atau suhu dingin. Latihlah dengan cara yang lebih mudah dan kurang beresiko, sebelum melakukan pendakian.
b.    Mengenal medan Pendakian.
Dg menggali informasi sebanyak mungkin dari pendaki pendahulu, atau masyarakat sekitar. Misalnya, apakah gunung tujuan pendakian mengeluarkan gas beracun yg berbahaya (krn ada beberapa gunung yang pada waktu tertentu mengeluarkan gas beracun), atau jurang-jurang tersembunyi, bebatuan yang mudah runtuh, dsb.
Catatan: dlm salah satu ‘kode etik’ pecinta alam, disebutkan: “menghormati tatanan kehidupan yang berlaku pd masyarakat sekitar.”  Ini sangat penting utk di perhatikan, krn tdk bisa di pungkiri bahwa terkadang ada hal-hal ‘tabu’ yang sebaiknya dipatuhi, guna menghindari kemungkinan yg tidak dikehendaki. Untuk mensikapi fenomena ini, dibutuhkan kerendahan hati. Bukannya kekerasan hatiMenghormati tatanan kehidupan yang berlaku pd masyarakat sekitar, bukan berarti mengubah keyakinan secara prinsipil. 
c.  Menginformasikan pada teman, kerabat, atau pemerintah di sekitar kaki gunung ( yg tidak ikut serta dalam pendakian) tentang tujuan pendakian, serta rencana kedatangan.
d.  Berdoa memohon perlindungan dari Sang Pencipta Alam

2.    Persiapan Perlengkapan
Mendaki gunung tanpa perlengkapan yang memadai sama halnya 
  menyiksa diri” adalah bahasa tidak tertulis yang ‘dipegang erat’ para 
  pendaki. Adapun kelengkapan yang dibutuhkan
a.  Ransel yg kuat, sepatu yang bersol kuat, serta ‘bergigi’ (mis, lars yang di gunakan tentara) Selain berfungsi melindungi keamanan kaki, juga mengurangii resiko cedera.  Tenda, senter, lilin, pisau, HP, pakaian kering cadangan (sebaiknya dimasukan kedalam plastic guna menghindari basah krn hujan), jaket, kompas penunjuk arah (lebih bagus jika punya peta), perlengkapan makan/minum, serta wadah untuk memasak air panas.
b.  Makanan dan minuman
Bawalah makanan dan minuman yang sesuai dengan rencana perjalanan. Saran: bawalah minuman sbg penghangat tubuh, berupa air rebusan jahe dan gula merah.

Selamat Mendaki Gunung

“Jangan Tinggalkan apapun kecuali jejak kaki, dan jangan mengambil apapun kecuali foto”