Kalo di bagian sebelumnya saya pernah menulis tentang ikan kayu, di postingan ini saya mencoba mengajak pembaca untuk sedikit mengintip prospeknya.
Pembukaan…….
Kalo anda tanya orang Jepang yang
paling ahli soal ikan kayu, saya bisa memastikan
mereka ngga akan mau meng-klaim sebagai ahli.
Paling mereka bakalan bilang “masih belajar” Bisa aja mereka bener, karena budaya
mereka memang menuntut untuk terus mencari dan mencoba variasi yang bisa diciptakan dari produk ikan kayu. Tapi kenapa ikan kayu ? karena bagi orang Jepang, ikan kayu ibarat
tempe dan tahu bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Lebih khusus Jawa.
Tapi mereka punya persoalan,
yakni keterbatasan bahan baku, hingga terjadi ketidak seimbangan antara
permintaan dan ketersediaan. Produksi
dalam negri Jepang sendiri baru dapat memenuhi
40% permintaan, hingga sisanya harus mereka impor dari Negara seperti
Indonesia, Thailand, Philipina, dan Vietnam.
Berdasarkan informasi, eksport ikan kayu Indonesia ke
Jepang tidak lebih dari 25% dari 60% kuota yang dapat diperebutkan. Peluang.
Merupakan ejaan yang sangat di pahami pebisnis.
Sepengetahuan saya, di Bitung
(khususnya) pernah mengalami kondisi dilematis antara pengusaha penangkap dan
pengolah. Pengusaha penangkap complain
ke Pemda saat tangkapannya melimpah tapi tidak bisa di tampung pengusaha
pengolah, hingga meminta Pemda membuka kran eksport beku. Lalu, ketika kran eksport di buka, giliran
pengusaha pengolah yang complain karena kehabisan bahan baku.
Kenapa saya antar pembaca pada
fenomena di Jepang dan Indonesia (diwakili Bitung)….? Simple.
Kalau ada yang tertarik berkecimpung di bisnis ikan kayu, sebaiknya
pengusaha penangkap.
Penutup……….
Gimana sich prospek ikan kayu ?
Harusnya bagus. Setidaknya di bawah leadership
yang capable.
Teorinya…?
Ikan kayu cuma olahan tradisional
yang kuncinya cuma di perebusan (boiling) dan pengasapan (smoking). Ngga susah.
Sistemnya yang sedikit perlu sentuhan, tapi kedepannya bisa jadi bukan
aja di Jepang, China, Korea, seperti yang selama ini, tapi juga Eropa dan
Amerika. Gejalanya udah kliatan koq.
Hitungannya….?
Utk menghasilkan 1 kg ikan kayu
kering (kadar air 20%), di butuhkan 5,55 (bulatkan aja 5,6) kg bahan mentah. Yield 18%.
Lama proses (1 siklus) dari
mentah sampe kering: 14 hari
Bahan baku utama: cakalang
(Katsuwonus pelamis) dan tongkol/deho (Eutynus sp)
Bahan pembantu utama: kayu bakar
(utk proses pengasapan) dan solar/batu bara (utk proses perebusan)
Hitung yuk…!
Anggap proses 10.000 kg/hari.
10.000 x Rp.15.000 (hrg cakalang/kg) = Rp. 150 jt
Tenaga kerja : Rp/kg (tergantung
produktifitas kan…)
Kayu: Rp/kg (tergantung
produktifitas kan…)
Solar: Rp/kg (tergantung
produktifitas kan…)
Jadi : 10.000 ; 5,55 = 1.801 kg
(kering)
Jual : (tergantung nego sama
buyer) tapi anggap aja 880 Yen/kg. kurs
107.
Total jual: 880 Yen x Rp.107 x
1801 kg = Rp. 169.582.160 minus (bahan baku + ongkos produksi) = ……?
Uppps, itu belom termasuk
‘sampah’ alias scrab, alias serpihan tulang dan daging yg diistilahkan sebagai
fish meal. Jumlahnya 18% dari total proses mentah.
10.000 x 18% = 1.800 kg/hari x
Rp. 750 = Rp. 1.350.000
Kalo hari prosesnya 25 hari, bisa dong ngitung sendiri…..
Ok, sekian dulu dech.
Sory, saya ngga bisa nyusun deskripsinya lebih bagus.
Kalo ada yg tertarik untuk lanjut,..silahkan email ke: ry_ticoalu_17471@yahoo.co.id
Catatan:
Satu, lebih baik saya kasih tau duluan: saya tidak bertanggung jawab dalam hal
pemasaran (kalo ada yang tertarik,…heheheh….), soalnya saya bukan orang
pemasaran.
Dua, untuk institusi pendidikan harus menggunakan e-mail
institusi saat contact. Saya bakal bantuin ngeset peralatan produksi skala
kecil.
No comments:
Post a Comment