Dalam perenungan, saya kerap
berpikir bahwa saya bukan pribadi yang punya semangat juang dan keinginan kuat
untuk meraih apa yang saya impikan. Saya
ngga doyan ngotot-ngotot amat untuk meraih sesuatu. Kerap memendam ‘banyak harapan dan impian’
tanpa batasan waktu. Dan pada titik
tertentu, sering merasa ada yang salah dengan diri saya.
Anehnya, dilain kesempatan saya senang membaca buku-buku tentang semangat
juang orang-orang sukses, mengikuti banyak seminar para motivator ulung, serta
nonton film-film yang inspiratif. Saya
juga bergaul dengan beberapa sosok sukses yang perfectsionis. Toh belum dapat ‘mengubah’ perspective saya
dalam meraih impian dan harapan-harapan saya.
Konyolnya, saya kerap mencari
pembenaran yang dapat mendukung perspective saya. Menuding ini dan itu sebagai biang keladi,
serta berbagai dalih. Hingga akhirnya
saya meyakini satu hal, yang terinspirasi dari CEO Jawa Post yang kini menjabat
Dirut PLN, Bpk Dahlan Iskan.
Dalam cerita bersambungnya tentang
proses ‘Ganti Hati’ yang di muat di salah satu harian terbesar daerah, beliau
menyatakan bahwa hidupnya diposisikan bagai aliran air yang semakin hari-semakin
deras alirannya.
Saya ingin menjalani kehidupan
dengan apa yang saya yakini. Tanpa harus meminjam keyakinan orang lain. Dengan begitu, saya tidak harus ‘merasa
kurang bahagia’ karena penilaian orang
lain tentang saya. Dan mungkin,….itu
sebabnya saya tidak terusik rasa cemburu oleh capaian kesuksesan siapapun, atau
diganggu oleh apa yang disebut sebagai ‘persaingan’
“Cukupkanlah dirimu, dengan semua yang ada padamu.” Adalah short
massage yang saya yakini.
(itu juga salah satu alasan saya
ngga perlu istri lebih. 1 cukup koq…….wkwkwkwkw…)
Kami pernah tinggal di suatu
tempat yang sebagian besar masyarakatnya memutuskan mengambil jatah beras bagi
kaum miskin (raskin). Tak perduli miskin
asli, atau miskin ‘jadi-jadian’.
Beberapa kali ketua RT (Rukun
Tetangga), yang kebetulan teman baik kami menawarkan beras extra murah tersebut. Dengan halus kami selalu menolak. Bukan tak butuh beras. Melainkan Karena keyakinan, bahwa kami
bukanlah warga miskin. Namun kami tak
mengemukan alasan ini padanya. Ngga tega
menyinggung perasaan orang yang telah menawarkan hal yang baik (menurut
keyakinannya).
Di kesempatan berbeda, kami
diperhadapkan pada suatu kondisi dilematis. Istri harus menjalani operasi cesar
persalinan anak ke-2 yang biayanya lumayan. Sedangkan kondisi keuangan saat itu
agak timpang. Seorang yang baik hati memberi jalan mudah pada kami: “Meminta
keterangan kelurahan sebagai warga miskin”
Dengan demikian bisa dibebaskan/diringankan
dari biaya persalinan. Dengan keyakinan,
dan alasan agar tidak menyinggung orang yang menawarkan kebaikan, kami menolak
tawaran tersebut. Kami-pun mencari pinjaman.
Kami juga pernah diajarkan dan
ditawarkan untuk ‘mencuri listrik’
“Di jamin ngga ketauan. Banyak koq rumah gedongan yang
melakukan.” Ujar rekan saya beberapa
tahun lalu (saat pengawasan PLN belum seketat sekarang)
Saya juga menolak. Semata karena keyakinan. Ngga perduli apa
keyakinan orang lain. Walau jauh lebih
kaya, atau lebih pintar dari saya.
Tapi ngomong soal keyakinan, saya
tahu persis, bahwa sebuah keyakinan tak boleh, dan tak bisa dipaksakan, tapi
harus lahir dan tumbuh atas keinginan pribadi. Dengan keyakinan yang kita anut, kitapun
tidak bisa merendahkan, atau melecehkan keyakinan yang lain. Karena ngomong soal keyakinan, bukan ngomong
soal benar atau salah. Itu persoalan
yang lain. Karena keyakinan adalah
persoalan psikologis. Bukan masalah logis.
Kalau saya meyakini bahwa Isa Al Masih,
atau Yesus Kristus telah lahir, lalu mati dan bangkit dari kematian, hingga
naik ke Sorga, itu kan keyakinan saya. Orang
lain mau meyakini atau tidak, itu bukan urusan saya. Dan saya juga ngga perlu risau, kesal, atau
marah kalau ada yang bilang bahwa keyakinan saya salah. Hehehe….kan kalau dianggap gila, toh yang
gila saya.
Beberapa tahun yang lalu, 2 rekan
saya adu argumentasi soal persembahan di Gereja yang berasal dari hasil korupsi. Teman yang satu, sebut saja A, bilang kalau
Gereja harus menolak persembahan tersebut.
Teman yang B menyatakan Gereja sah-sah
saja menerimanya. Wah, lumayan lama
mereka beargumen.
Ketika saya mendekat, rekan A
menanyakan pandangan saya. Tanpa banyak
argument saya bilang kalau saya tidak mengharamkan persembahan tersebut. Karena keyakinan saya, Gereja bukanlah
organisasi penghakiman. Lagian, yang
melanggar hukum adalah perbuatan mendapatkan uang tersebut. Bukan uangnya yang
di haramkan. Perbuatan si-penyumbang
adalah urusan penegak hukum.
Mungkin kasusnya hampir mirip
dengan ‘istilah kejam’ yang di materaikan pada anak yang lahir di luar status
pernikahan: ‘anak haram’ ……astagfirullah….koq tega-teganya nyebut si-anak
sebagai mahluk haram sich. Emanknya
si-anak salah apa..? Emanknya dia minta dilahirkan..? kan yang melanggar etika
kemasyarakatan adalah ‘perbuatanya’ bukan hasil dari perbuatan tersebut. Malah, itu juga cuma karena ‘kelamaan
nyabutnya’…..hahahaha…..(sensor ahh,..)
Beda sama kesalahan ngitung beban
waktu mau bikin bangunan 15 tingkat.
Karena kesalahan hitung bisa berakibat fatal pada dampaknya.
Akhirnya, pakailah keyakinan anda
sendiri. Ariflah menerima resiko dari
keyakinan tersebut. Waktu akan membawa kita pada sebuah pencerahan. Persoalan
keyakinan itu berubah atau tidak, keyakinan untuk itu harus berasal dari diri
kita sendiri. Jangan pernah meminjam keyakinan orang lain.
No comments:
Post a Comment