Monday, March 28, 2011

WHY WE DO NOT STOP THE WAR ?

Pict by. Bob willits

When we walk with a gun or knife in our shirt, or bags, we might think to protect ourselves, if there are obstacles in the future. But without our conscious, we also have to prepare themselves for battle.

In contrast, if we go without a weapon. 
When there is a problem, maybe we try to negotiate. Remembering 'our powerlessness', or we will run away if the negotiations do not find a way out.

The existence of weapons that we hide, tend to make us brave, even feels stronger, or belittle other parties that we consider to hinder our journey. 
Just a little pride we feel abused, we will issue a weapon. Maybe at first to intimidate. But when that intimidated though challenging, would not want us to use these weapons.

Thus conditions that occurred in each State. 
All felt the need to 'protect yourself'. At first with small arms. But seeing the other party also has the same weapon, it created a more sophisticated weapons, to be more easily win the battle. On and on.Eventually, unconsciously, we are creating the cold war, or psy war.  And finally, there was a war. Just because a trivial issue. But the victim Millions of civilians who have never understood why the war should be conducted.

Had we been aware that the making of weapons of mass destruction is not the best thing for peace.

Time has made a lot of people get smart and wise. 
But strangely we still often fuss over the issue of 100 centimeter of land, which ended with the deaths of millions of people who should be protected. We often claim each other on an island, which should end with the destruction and misery. Where the properties of our humanity ...? Why self-esteem as more important than the love sweetheart ....?

Really proud of us cry when people we love back from the battlefield with the bodies were destroyed in the coffin ... ..?

If there are millions of people with dedication and spirit of never give up trying to protect extinction Panda, Penguin, Koala, Komodo, and thousands of other rare animals, why we do not have a greater passion to avoid war ...?

When a disaster stricken country, the whole world mourn and weep. 
Trying to help to lighten the load. ..Is not it beautiful? Is not that a sign, that we love each other as fellow human beings ?  But why are we making weapons to destroy each other, if we truly love each other ..?
Libya, Syria, Iraq, Iran, Korea, Africa, Palestine, Israel, England, Ireland, France,Germany, Afghanistan, Russia, and the whole world. Stop the war ....!

let the UN and NATO open the eyes and hearts. stop the war ...

Let us holding hands, hearts united to reject war and viol
ence

God Bless You

sory, I can’t writing English good. But I do my best for finished this letter

To anyone who happens to read this post, and have acces to all world leaders, I hope, presumably to forward this message to them. Thank you

Wednesday, March 23, 2011

TO ALL COUNTRIES IN THE WORLD LEADER

From stupid boy in Manado, Indonesia

At first I hesitated to write this. But my heart never stopped pressing me.

I am concerned with the war until the era of technology, still continue to occur

I do not expect to be a hero from what I'm doing this. Because the only one I hope through this letter just STOP WAR IN THE WORLD

O world leaders, I believe that deep down inside you, there is something grand and noble, which makes you a leader. Leaders who missed the  people, to always bringpeace, and believe in goodness.

I do not understand about politics, self-esteem Nations, or sovereignty. But I believe that eliminating the lives of others will not make us better. Quite the opposite. I believe, that the pride of a nation do not have to be built by war.
If only we would honestly ask our consciences are tender and sublime, what we gain from a victory in the war? Self-esteem and pride of a nation? Impossible. Because self-esteem and pride is just an idea. An abstract concept that is not shaped

(When we cry over the children, brother, sister, father, friend, or husband who died while fighting, the same cries were heard from those who we're fighting)

We know that war never provides any benefit to humanity. Wars always leave the anguish and pain that never dropped out from generation to generation

Did not we learn from history, that peace was never successfully taken by the war.Kindness and compassion was the one who will absorb the crime it self.

O world leaders, into your hands is given the power to become the trigger of war, or peace torch bearers. Choose the consideration of kindness and compassion. Was not easy, but surely there's always a way out.

War is not an option. But the greatest defeat in our human journey episode. War is only the fruit of fear to overcome fear. A false lies that manipulate our fragility as human beings.

There will always be evil people on this earth. But by eliminating them, we not only make ourselves more evil, but also spread the birth of revenge, which will grow as new crimes are more severe. War-affected children know exactly that.

Crime can never move forward if it hinders his movement united kindness.


Really, I felt was inappropriate to advise you. But I pleaded. As is my prayer to God Rev. Do it with all the strength that you have to prevent war. Everywhere. In our world together.

May God Be Bless You All

I’m very sory, because I can’t writing English Well. But I do my best for finished this letter
To anyone who reads this post, and have acces to all world leaders, I hopepresumably to forward this message to them. Thank you

Friday, March 18, 2011

GENGSI NGGA BIKIN KITA JADI LEBIH BAIK MAN…!

Dari sekian banyak etnis di Indonesia, mungkin orang Minahasa bisa masuk rangking 3 besar kalo diukur dari perspectifnya terhadap nilai-nilai kegengsian (gila…saya pake bahasa apa nih..hehe..?).  Makanya falsafah ‘Biar kalah nasi, yang penting jangan kalah aksi.’  masih sukses diwariskan dari generasi ke generasi.  Apa maksudnya…? Kurang lebih : biar ngga makan, yang penting gaya. Yang penting keren.  Sakti ngga tuh..? Ngga perduli gajinya 4 juta sebulan, yang penting punya property di Citra Land. Padahal, harga sebiji rumah di sana paling murahnya 400 jutaan. Mamamia. Bayar pake bulu ketek om…..hehehe….demi tradisi gengsi.

Waktu pertama kali tinggal di Manado, saya sempet kaget saat berkunjung ke salah satu rumah family, yang boleh di bilang hidup di bawah garis kemiskinan.  Bukan melecehkan, tapi faktanya begitu koq.  Rumahnya beratap daun enau. Dindingnya dari tripleks tipis. Lantainya tanah.  Apa namanya kalau tidak di bawah garis kemiskinan.

Karena saat itu masih suasana Natal, orang muda wajib mengunjungi yang lebih tua. Yang bikin saya kaget, waktu mereka mengeluarkan hampir selusin toples kue yang berbeda, dengan minuman berupa soft drink botol. Padahal, waktu masih di Jakarta, tiap saya silaturahmi ke kerabat yang  Idul Fitri-an, Cuma sedikit yang menyajikan soft drink. Kebanyakan limun, atau sirop, yang harganya lebih murah. Padahal, mereka termasuk pada keluarga menengah.  Saya yakin bukan karena pelit. Namun sederhana. Karena tamu yang akan datang mungkin cukup banyak. Jadi, penyajian soft drink  membutuhkan biaya yang besar.

Tapi di Manado, para tamu sering sewot kalo disugguhin sirup, ato limun. “Bikin perut semutan” Begitu sindiran umum yang terucap. Jadi klop deh. Tamu sama tuan rumah sombongnya ngga ketulungan. “Ini kan acara setahun sekali. Wajar lah kalo kita keluarin uang agak lebih.” Paling itu dalih yang diucapkan.
Biasanya, 2 bulan sebelum dan 1 bulan sesudah Natal, yang namanya Pegadaian panen besar. Karena kebanjiran nasabah yang menggadaikan emas, hingga TV, demi pesta pora 'berselubung' perayaan iman tersebut.

Dikesempatan lain, saya mengenal seseorang yang gajinya saya tahu persis. Tidak lebih dari 4 juta sebulannya. Luar biasanya, dia kredit 2 buah mobil baru sekligus.  1 panther open kap, dan Toyota kuda kalau tidak salah. Cicilan ke-2-nya 6 juta sebulan. Alhasil, dia selalu main kucing-kucingan sama dealer.  Security tempatnya kerja jadi lihai berdusta tiap ada dealer yang mencari bosnya. Di tempat kerja banyak bengong kayak ayam sakit, mikir gimana caranya supaya mobil  kebanggannya bisa bisa tetap show force di garasi, yah setidaknya untuk 1 tahun di acungin jempol kolega dan tetangga. Mirip jempol di FaceBook. Ntar tinggal ngomong “thanks jempolnya ya say”

Ada juga seorang pendidik yang gelarnya udah ‘mentok’. Waktu sukses nggondol gelar akademik tertinggi-nya di luar negri, dia beli mobil baru.  Ironisnya, beberapa bulan kemudian ia dan keluarganya diusir pemilik rumah kontrakan yang ditempatinya, karena nunggak lebih dari 5 bulan. Alamak. Rupanya sang Dosen belum punya rumah sendiri.

Saya cuma bisa senyum mendapati kisah-kisah nyata tersebut. Saya mahfum akan salah satu kebutuhan rohani tiap orang, yakni kebutuhan untuk DIHARGAI. Tapi kan bukan artinya membumi hanguskan nalar berpikir. Mengedepankan gengsi. Akhirnya, kelakuannya malah menunjukan bahwa yang bersangkutan belum siap dengan semua yang dimilikinya, alias bermental kere. Berantem sama kasir Mall yang salah mulangin kembalian Rp 200 (dua ratus rupiah), lapor ke polisi persoalan buah papaya 1 biji yang diambil nenek yang kasihan sama cucunya yang kelaparan, nempeleng pelayan restoran karena melayani orang yang datang sesudahnya, nyewa bodyguard untuk nggebukin kakek yang salah nangkep ayam yang dikira ayam miliknya, serta banyak kejadian konyol lain yang justru bikin seseorang yang merasa dirinya kaya, atau disangka kaya, sesungguhnya tidak lebih baik dari pengemis.

Demi gengsi. Banyak orang yang lebih memilih menggadaikan harkat dan martabatnya, yang justru merupakan harta tak ternilai, demi performance. Demi penampilan luar yang kerap menipu. “Seperti kuburan, yang bagus di luar, tapi penuh tulang belulang di dalamnya” begitu kata ahli Kehidupan.

Sebenarnya, gengsi tidak selamanya buruk. Selama gengsi diarahkan pada sesuatu yang benar. Loh koq? Iya, kalo kita gengsi untuk melakukan korupsi, gengsi untuk selingkuh, gengsi untuk menelan hak-hak orang miskin, itu kan gengsi yang positif. Bukannya gengsi karena ngga punya mobil kaya para tetangga.  Ato gengsi karena ngga makan di AW, McDonald, ato Hoka-Hoka Bento.

Ironisnya, kita lebih menyukai gengsi yang negative ketimbang positif. Padahal, gengsi ngga akan bikin kita jadi lebih baik. Trust me…! It works…   


Keagungan lebih sering ditemui di balik kesederhanaan-Anonym

Tuesday, March 15, 2011

IF TOMMOROW NEVER COMES

(I can't writing English well. But from my deep heart, i just can tell: "I sad and concerned with the Tsunami disaster that hit Japan. May the patience to deal it…!")


Beberapa tahun lalu, seorang rekan wanita saya bercerita kalau Ia mencintai seorang pria selama bertahun-tahun.  Sejak SMP. Namun tak pernah berani mengirimkan signal-signal cinta. Apalagi mengutarakannya secara terbuka. Ia senantiasa mencari tahu semua kegiatan laki-laki itu. Bahkan melihatnya dengan tatapan datar kala si-cowok bergonti-ganti pacar.

Karena kasihan, saya kerap memberinya pemikiran untuk melupakan pria itu. Namun tak satupun nasihat saya yang bisa merubah posisi pria itu di hatinya.

“I will stop waiting, if tomorrow never comes. ” Selalu itu kalimat yang diucapkannya. Luar biasa.
Andai saya punya sedikit saja cinta lebih dari seorang teman, saya akan berusaha untuk merebut hati dan perhatiannya dari pria idamannya. Tapi sayangnya tidak. Saya tak mau memaksa cinta tumbuh di hati saya hanya karena rasa iba.

Waktupun berlalu, dan kami terpisah. Komunikasi kami terputus, dan saya tak pernah tahu lagi keadaannya , hingga suatu saat pada salah satu supermarket  di Negara matahari terbit beberapa waktu lalu.

Saat tengah melihat peluang  yang bisa saya eksport dari Indonesia, saya merasa ada seorang wanita menarik yang tak henti memperhatikan saya. Mulanya agak Geer juga sih. Tapi lama kelamaan malah jengah. “Can I help you Lady?” Dengan Bahasa Inggris yang telah saya hafal 5 menit sebelumnya

“From Indonesia? Robin kan?” Cecarnya sebelum saya sempat menjawab.   

Saya menganggukan kepala,  sambil mencoba mengingat wanita manis nan anggun di depan saya.  Tiba-tiba ia meletakan kereta belanjanya, dan langsung memeluk saya. “U.”  Ia menyebut namanya.  Kamipun bercerita panjang lebar.  Ketika saya celingukan ke sana kemari, rekan saya seperti mengerti apa yang saya cari, lalu ia menunjuk sosok pria berkaos garis-garis dengan jeans biru tua yang berdiri membelakangi, tak jauh dari tempat kami. “Sama suami dan anak  .” Ujarnya masih dengan senyuman yang tiba-tiba mengingatkan saya pada istri di Indonesia. 

Saya sangat terkejut saat pria itu membalikan tubuhnya, dan berjalan ke arah kami, diiringi 2 bocah laki-laki berusia 7 dan 10 tahun. Pria yang di sebutnya suami adalah pria idamannya hampir 25 tahun yang lalu. Saya melongo untuk beberapa saat.

Pembicaraan-pun kami lanjutkan di tempat kediaman sementaranya di Jepang (konon merupakan sesuatu yang tidak lazim bagi orang Jepang untuk bertamu ke rumah orang).
“If tomorrow never comes ya Bin.” Ujar rekan saya sambil menggandeng mesra suaminya, sesaat ketika kami keluar dari supermarket, menuju tempat kediamannya.

Setelah hampir 3 jam ngobrol sambil makan siang di rumahnya yang tak jauh dari supermarket di Kagoshima, saya tahu kalau suami rekan saya adalah seorang diplomat. Sedangkan rekan saya adalah exportir produk pertanian ke Jepang.

Sesaat sebelum berpisah, kami bertukar nomor HP dan e-mail. Saya pulang sambil merenungkan arti ‘if tomorrow never comes’ yang rekan saya jadikan sebagai pedoman. Philosofi yang tidak lazim.  

Dari e-mail yg dikirimnya, ia bercerita bagaimana akhirnya ia menikah dengan pria idamannya itu. Menurutnya, dalam sebuah kegiatan reatret yg dilakukan Gerejanya, tanpa diduga, ia bertemu dengan pria idamannya, dan ia punya kesempatan banyak utk dekat dengan pria itu. Dalam moment itu, ia mencurahkan perhatiannya pada si-pria secara alami. Tidak selalu berdekatan, namun tidak terlalu jauh. Ia senantiasa mencurahkan perhatiannya secara tulus. Selesai reatret, frekuensi pertemuan mereka jadi lebih sering, hingga pada sebuah kesempatan, sang pria mengungkapkan cintanya pada si-wanita. Dua tahun berpacaran, akhirnya mereka menikah.

Saat mengingat bagian itu, tanpa saya sadari, mata saya berkaca-kaca. Saya sangat terkesima dengan keteguhan hatinya yang sederhana. Saya mengira, bahwa kisah seperti itu hanya ada di sinetron, atau kisah di novel. Bukan pada kehidupan nyata. Karena berkaca pada kehidupan cinta saya di masa lalu, saya tidak pernah mencintai seorang wanita sedemikian hebatnya, hingga harus berkorban terlalu besar. Karena bagi saya, buat apa menanti seorang wanita sedemikian lamanya tanpa kepastian, kalau saya punya peluang untuk mengutarakan cinta saya pada wanita lain. Toh saya seorang pria. Kalau si-A tidak mau, kan masih ada B, C, D, hingga X.

Namun dari pertemuan dengan rekan lama itu, saya berhasil menarik sebuah pelajaran penting. Pelajaran tentang pedoman ‘If Tommorow Never Comes’ yang dianut rekan saya.

Saya adalah seorang yang peragu, temperamental, kurang punya semangat tempur yang tinggi dalam menjalani kehidupan, penuh dengan kekuatiran, serta mudah menyerah. Saya diajari oleh seorang wanita dari kehidupan masa lalu saya. wanita yang lebih muda dari saya, namun memiliki keyakinan yang kuat.

Pada salah satu  e-mail yang dikirimnya, ia menulis:” Kalau Hari Esok Tak Pernah Ada, buat apa kita berusaha hari ini. Buat apa kita punya harapan? Nyatanya kan kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Dan karena ketidak tahuan itulah kita punya harapan akan sesuatu yang lebih baik. Dengan usaha dan Doa, kita jalani hari demi hari, sambil bermimpi dan berharap, bahwa masih ada hari esok.”

Sambil membayangkan wajah manisnya, saya mengirim e-mail: “Dari dulu kamu ngga pernah tertarik sama saya?”

Balasannya:”Waktu bukan Cuma ngubah kamu jadi gendut, tapi juga genit ya? Only God Knows?”

(Wah, gimana caranya nih ngirim e-mail ke God?)

Friday, March 11, 2011

OmG,..Gue Dah Gila...?

Stop…..!!!! kalo loe waras, baiknya gak usah mbaca terus dech. Ntar nyesel..

Ini peringatan ke-dua.  Stop…!! Gw gakkalo loe masih mbaca juga.

Loh, masih membaca juga…?? Ok deh kalau begitu. Dengan senang hati gue ucapin: “Selamat datang di komunitas orang gila.” Tuh kan tersinggung…..! Kan udah gue peringatin....hehehe..

Jadi begini, wahai komunitas gila yang saya gilai, pastinya ada beberapa pertimbangan gila yang membuat anda masih juga tergila-gila untuk melanjutkan kegilaan anda membaca tulisan gila ini.
  1.  Anda bukan tipe orang yang setengah gila dalam melakukan banyak hal gila. Ini dibuktikan dari kegilaan anda yang masih terus membaca tulisan gila ini. Karena saya pikir secara gila, ketika anda mulai membaca, anda berpikir telah melakukan kegiatan setengah gila. Daripada Cuma setengah, pastinya anda merasa riskan dituduh oleh suara gila dari hati anda sebagai orang yang setengah-setengah.  Karena itulah anda memutuskan untuk menjadi gila yang seutuhnya.
  2. Anda merupakan salah satu teman saya yang merasa iba melihat kegilaan saya, lalu memutuskan untuk mengambil resiko menjadi segila saya
  3.  Anda hanya ‘kebetulan’ menjalin pertemanan dengan saya lewat FB ini, lalu mencoba cari tahu  sejauh mana tingkat kegilaan saya, supaya anda punya alasan (yang tidak gila), yang cukup kuat untuk menghapus saya dari daftar pertemanan
  4. Sebenarnya anda justru kurang menyukai  saya.  Kalaupun anda telah melangkah segila ini,  semata-mata karena anda telah terjebak dalam nuansa gila yang saya ciptakan. Padahal, tujuan anda sebenarnya hanya untuk mengukur kadar kegilaan saya
  5. Khusus wanita, jika masih terlibat dengan kegilaan ini, cuma berarti 2 kemungkinan, yaitu sama dengan bunyi poin (2), atau diam-diam menaruh rasa gila terhadap saya….hehehe….(orang gila tidak mengenal istilah GEER loh…)
  6. Anda memang sudah bosan dengan kondisi waras, sehingga bagaikan mendapat oksigen kebebasan bisa tergabung dalam komunitas gila, sebagai sesama kaum gila



Bicara soal gila, seharusnya kita bersyukur bisa tergabung dalam komunitas gila. Kenapa?

  • Karena hanya dalam kondisi gila, kita bisa bebas murni dari segala macam dakwaan dalam berbagai kasus di pengadilan. Buktinya, tidak sedikit orang waras yang sudi melamar dalam komunitas gila, demi menghindari jerat hukum. Dan ironisnya, setelah keputusan pengadilan membatalkan tuntutan, mereka mendadak waras, dan menajiskan kaum gila.
  • Jika kaum gila melakukan tindakan gila, itukan wajar. Sebaliknya, lebih banyak kaum yang mengagungkan kewarasannya, justru melakukan tindakan-tindakan gila. Mau contoh? Nonton aja kelakuan gila kaum waras di parlemen atau dunia politik.
  •  Jika kaum gila mencari makan dengan mengais sampah, wajar kan? Lah wong gila koq. Tapi warasnya, tidak sedikit kaum yang menyanjung kewarasan, justru menghisap makan yang dikais kaum gila tersebut. Ngga percaya? Tuh liat bantuan bencana alam yang seringkali tidak sampai pada korban bencana.

  • Kaum gila tidak pernah menghina kaum yang berseberangan dengannya. Hahaha…emangnya pernah ada orang gila yang bilang “Dasar kamu waras..!”  kan selalu orang waras yang teriak “Dasar gila..!”

  • Tidak ada orang gila yang berubah waras karena tekanan dan depresi.
  •  Orang gila tidak pernah tergila-gila dengan harta. Bukankah pernyataan “Dasar gila harta” hanya ditujukan bagi orang waras?


Malam semakin gila, menyatu dengan gilanya angin malam. Dari sebuah kedai gila, mengalun salah satu lagu yang saya gilai, yang dinyanyikan Afgan

Tersadar, di dalam gilaku,..setelah jauh menggila, cahaya gilamu, menuntunku,..
Terima kasih gila, untuk segilanya, kau berikan gila, kesempatan gila, tak akan terulang gila, semua kegilaanku, yang pernah menggilaimu……(Afgan)
 

Filsafat gila: hal tergila yang dilakukan orang gila adalah berhenti berharap menjadi gila     

sekian dulu kegilaan ini.  Salam gila....!

Wednesday, March 9, 2011

BUAH JATUH JAUH DARI POHON

Beberapa waktu lalu saya pernah terlibat perbincangan menyangkut karakter  negative seseorang yang kita kenal. Lalu salah satu teman bilang: “Ah, kakeknya begitu, yah begitu juga cucunya.”

Wah kasihan juga ya kakeknya udah lama meninggal, masih juga di bawa-bawa. Masih juga dimintai pertanggung jawaban atas kelakuan cucunya, yang mungkin aja kebetulan punya kelakuan yang sama dengan sang kakek. Padahal, bisa aja para turunan kakek telah mengalami pencerahan, yang memungkinan mereka memutuskan untuk tidak meniru kelakuan si-kakek.

Memang ngga bisa disalahkan juga sih kalau sebagian besar orang memiliki opini yang sama tentang karakter. khususnya yang bernuansa negative.  karena kita sering dikondisikan demikian. Kelakuan seseorang, pasti  ‘diwariskan’ dari generasi sebelumnya. Like father, like son

Kalau bapaknya pemarah, si-anak juga pemarah. Bapaknya penipu, anaknya pasti jadi penipu juga. Bapaknya doyan selingkuh, anaknya juga harus doyan. Koq rasanya ngga adil ya. Seolah si-anak udah dicetak tanpa kehendak bebas sebagai pribadi.   Genetika sih tinggal genetika. Padahal ilmu pengetahuan sendiri membuktikan kalo gen itu sendiri sering mengalami perubahan, alias mutasi gen.  logisnya begitu juga dong sama karakter.

Saya punya pengalaman yang sama sekali bertolak belakang dengan ide ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’.  Secara kebetulan, saya mengenal baik ayah maupun anaknya.  Ayahnya seorang pendidik yang sukses di dunianya. Begitu disiplin dengan segala aturan ideal sebagai warga masyarakat.  Sangat concern dengan penampilan.  Tegas . Tapi segalanya bertolak belakang sang anak yang bahkan memiliki wajah yang mirip dengannya.

Ketika saya mengemukakan fakta tersebut pada anaknya yang kebetulan masih punya hubungan keluarga dengan saya (soalnya saya memanggil ayahnya dengan om, hehehe…), saya menemukan jawaban yang mengejutkan.  Karena ayahnya tergolong mampu secara ekonomi, jadi dengan kesadaran yang ia tumbuhkan atas dasar kehendak bebas sebagai pribadi, dirinya justru ‘menciptakan’ karakter yang seperti aliran sungai. Mengalir. Tidak terlalu ngotot dalam mencapai sesuatu, atau mempertahankan sesuatu. Bahkan ketika sang ayah menghibahkan sebagian kekayaannya pada sebuah panti asuhan, ia hanya berkata santai  “dia memang ayah saya, tapi bukan berarti semua yang ada padanya harus ada pada saya. Kita punya kehidupan dan keinginan masing-masing. Jadi kita harus punya cara sendiri untuk menjalaninya.”

Walau terkadang heran dengan ketidak kemiripan karakter antara dirinya dengan kedua orangtuanya, namun respek saya padanya tidak berkurang. Karena perspectifnya terhadap nilai-nilai kebaikan dan prinsip kehidupan, lahir atas kehendak bebasnya sebagai pribadi. Bukan karena anak sang ayah.

Sambil bercanda, seorang teman pernah berkata pada saya kalau buah memang tidak selalu jatuh jauh dari pohonnya. “Kalau pohonnya tumbuh di pinggir sungai, kan buahnya di bawa aliran air .” hahaha….bisa aja

Dalam perenungan akan hal ini, saya sering melihat kenyataan betapa banyaknya orangtua sederhana di pedesaan yang rela membanting tulang demi mensekolahkan anak-anaknya hingga pendidikan tertinggi yang mampu digapainya. Saya terharu. Terharu karena tanpa penjelasan panjang lebar, para orangtua menyadari kalau mereka kurang mendapat bekal pengetahuan yang cukup dari orangtua mereka. Pengetahuan yang dapat memback-up perspective berpikir mereka dalam pembentukan karakter. Dan mereka tidak ingin semua hal tersebut juga dialami anak-anaknya.

Karena karakter, dalam banyak hal justru sering di bangun dari sebuah pondasi berbasis perspective berpikir. Bukan,..bukan karena tingkat intelektual. Itu adalah kasus yang berbeda. Misalnya, seorang yang tidak tahu bahwa virus HIV hanya bisa ditularkan lewat darah, cenderung untuk menghindari para penderita AIDS. Atau bahkan bergabung dengan para demonstran yang melarang kaum gay dan homoseks bekerja di sebuah instansi. Sikapnya terhadap kaum gay dan homoseks dibangun dari minimnya pengetahuan tentang penularan virus HIV. Bukan dari kebaikan hatinya. Karena ketika ia mengahui hal yang sebenarnya tentang HIV, niscaya ia akan merubah sikapnya.

Ketika seseorang tahu bahwa mendidik anak dengan kekerasan tidak berdampak positif pada perkembangan mental anak, maka ia bebas untuk memilih sikap dalam mendidik anak-anaknya. Walau secara pribadi ia sendiri mengalami perlakuan buruk dari orangtuanya.

So, dengan begitu kita bisa bersikap bahwa ‘buah jatuh bisa saja jauh dari pohonnya’ (jadi, tanamalah pohon yang punya buah, di pinggir sungai…hehehe..) 

(sambil memandangi dua gadis kecil saya yang telah terlelap, saya berharap,..mereka tidak jadi pendaki gunung seperti saya..mmhhh,...semoga) 

Sunday, March 6, 2011

PRIA MEMBOSANKAN ITU TERNYATA SAYA

(hehe….baru nyadar)

Waktu masih lajang, saya pernah mengenal wanita yang menurut saya cerdas.  Bukan karena kemampuan menghafalnya yang luar biasa, namun juga berhitung, menganalisa, serta menggambar.  Kenapa saya memilah kategori cerdas? Begini, dari pengalaman saya, ada orang yang begitu luar biasa dalam menghafal, namun lemah dalam berhitung. Ada juga yang hebat menghafal dan berhitung, namun lemah dalam menganalisa. Katanya para pakar,  itu persoalan otak kiri dan kanan. Salah satu bagian otak cenderung ‘kuat’ pada hal logis, sedangkan sisi lainnya intuitif. Imaginativ. Dan kemampuan menganalisa adalah penggabungan kekuatan kiri dan kanan. 

Ia  mampu menggambar dengan hasil yang sangat bagus, sambil mencerna pemaparan sebuah materi sekaligus.  Tanpa sebaris catatanpun. Selain itu, iapun mampu menyimak dengan benar isi sebuah percakapan yang dilakukan 3 kelompok yang berbeda, yang berbicara pada saat yang bersamaan (dlm jarak berdekatan tentunya. Kalau jauh, ngga kedengeran kale…)

Walau performance  fisiknya biasa-biasa aja , namun kecerdasannya membuat ia punya nilai tambah yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh kaum adam. Tapi sayangnya ia memanfaatkan kelebihannya itu secara negative, yakni doyan koleksi pacar.

Dalam sebuah kesempatan, ia pernah terus terang pada saya, kalau saat itu ia tengah berpacaran dengan 3 pria berbeda secara bersamaan. Namun yang membuat saya terkesima adalah pernyataannya:
“Pria setia itu membosankan Bin.  Mereka biasanya kaku, penurut, dan ngga romantis. Mau ng-kiss aja pake tanya dulu. Ngga asyik”  Nah loh…!

Lalu di kesempatan lain, saya ngobrol dengan 2 wanita, sebut saja Tita dan Titi. Tita sedang menjalin cinta dengan seorang yang juga teman saya, sebut saja Paul. Laki-laki alim yang tenang dan kalem. Cenderung kebapakan (masa keibuan sih. Bukan lekong dong…..hehehe), dan berpotensi setia hingga akhir. Tanpa di duga, Tita bilang kalau ia akan menerima cinta pria lain, sebut saja Bronson. Yang juga teman kami bertiga. Sebenarnya sih bukan hal yang terlalu istimewa gonta-ganti pacar sebelum merit. Cuma persoalannya, reputasi Bronson sudah sangat tersohor sebagai Don Yuan kelas wahid. Karena dari isyu yang beredar di kalangan rekan secawat,…eh maksudnya sejawat, hampir semua wanita yang diisyukan cuantik, sudah pernah masuk dekapan Bronson. Titi aja sempat saya liat sesaat menundukan kepala sambil mengulum senyum. Mungkin salah satu yg pernah di dekap. Hehehe... 

“Emang Paul cowok yang baik. Sopan, dan setia. Tapi ngebosenin. Beda sama Bronson….romantis, dan selalu penuh kejutan” Huk. Tita nyebut nama Bronson pake tersipu malu. Terlalu. (Intermezo nih...! Semua cerita diatas bukan cerpen fantasi loh,…tapi kisah nyata. Cuma conversationnya emank ngga sama persis. Lah wong udah 13 tahun lebih)  

13 tahun lebih saya melewati waktu tersebut

11 tahun sudah saya nikah dengan bekas pacar terakhir saya. Punya 2 cewek kecil, dan bekerja di sebuah pabrik, yang jumlah pekerja wanita dan pria-nya hampir seimbang. Artinya, setelah sekian lama dikelilingi banyak wanita, Alhamdulillah saya tidak tergoda untuk memasukan salah satu dari wanita-wanita di pabrik ke dalam dekapan saya. Bukan karena tidak ada yang mau loh (bukan maksud nyombong nih…), tapi saya memilih untuk memegang teguh janji pernikahan yang telah saya ucapkan di hadapan Pendeta dan jemaat. Saya lebih memilih jadi laki-laki yang membosankan-yang tidak suka Valentine’s day-, ketimbang menyenangkan bagi banyak wanita. Karena saya tahu persis prinsip ‘Apa yang kau tabur, itulah yang akan kautuai’

Mungkin itu juga sebabnya saya lebih menyukai lagunya Base Jam: Bukan Pujangga, ketimbang lagu Michael Bolton: said I love you but I laid

Mungkin aku, bukan pujangga yg pandai merangkai kata. Kutak slalu kirimkan bunga tuk ungkapkan hatiku. Mungkin aku tak akan pernah memberi intan permata, mungkin aku tak selalu ada di dekatmu.
Kuingin kau tahu, isi di hatiku….kutak akan lelah, jaga hati ini, hingga dunia tak bermentari. Satu yang kupinta, yakini dirimu, hati ini milikmu, semua yang kulakukan untukmu lebih dari semua kata cinta untukmu (Base Jam)

Wah, udah dulu ya, hehe,…mau ngangkat jemuran tuh. Mau ujan. (soalnya istri saya lagi mbetulin seng yang rusak sih….)

Tuesday, March 1, 2011

SATRIA BAJA HITAM.....BERUBAH

Pict. Ireland 4517. Setelah berubah dari ulat bulu jelek

Gila! Gue gak nyangka dia bisa sehebat itu. Padahal dulu, dia begonya minta ampun. Pernah dengar kalimat seperti itu? Jangan bohong. Malahan mungkin kita sendiri yang sering mengucapkannya.

Perubahan. Kata sakti yang sering dipakai para motivator untuk membangkitkan dan menghipnotis audience. Dan sering terbukti tokcer.

Pernah nonton film fantasi superhero seperti Superman, Batman, atau spiderman? Itu loh, tokoh supersakti yang sukses melibas kejahatan, setelah yang bersangkutan merubah dirinya dari sosok ‘orang biasa’.  Peter,  wartawan cakep yang sedikit oon, berubah jadi very fantastic dan bombastic waktu menggunakan seragam laba-laba merah. Begitu juga dengan Clark Kent yang kacamatanya auzubilah tebel. Langsung bisa terbang dengan pakaian Superman (walau dengan kancut yang diobral kesana kemari…hehehe..)

Makna apa yang terkandung dari semua kisah fantasi tersebut? Kerinduan pada keamanan dan citra ideal kehidupan yang damai dan tentram, yang terpaksa difantasikan, karena ketidakmampuan merealisasikannya dalam kehidupan nyata. Padahal, kata kunci dari semua harapan tersebut adalah perubahan.

“Rubahlah mindset anda. Keluar dari zone nyaman anda,  jika ingin mencapai kehidupan yang lebih baik.” Merupakan mantra modern yang kerap menggema di atmosfir kehidupan masa kini. Tapi faktanya tidaklah semudah ‘teorinya’

Pendidikan saya Cuma begini. Saya tidak pandai berkata-kata. Saya tidak melek IT, serta seabrek ‘tembok Cina’ kerap membatasi keinginan untuk berubah. Salahkah? Tidak salah mungkin. Karena seperti dikatakan Stephen Covey: Dimana kita duduk, tergantung di mana kita berdiri.

Kita dibesarkan dengan kondisi dan pakem yang seolah disabdakan dari langit, hingga bisa membawa malapetaka jika diubah, atau di langgar. Kalo Stephen Covey bilang, kita tumbuh dan dikondisikan ‘sudah begitu’. Welah dalah, Cuma Gusti Allah yang bisa ngerubah keyakinan yang mengakar urat begitu.
Contoh kasus yang ‘berbau keabadian’ adalah filosofi ‘banyak anak banyak rejeki’ ; ‘biar kalah nasi yang penting jangan kalah aksi’ (kalo ini slogan gendengnya orang Minahasa)      

Biarpun makan aja udah ngga tau bagaimana caranya, tapi ngga juga mau berenti beranak. Mungkin di benaknya, nanti anak ke sekian baru rejekinya datang.  Ato, ….siapa tau salah satu anaknya ada yang jadi mentri. Hahaha…Itu kan pemikiran yang aneh (kata halus dari gendeng). Mbok ya punya anak tuh liat kondisi. Kalo 2 aja udah mikir jadi pengemis atau pelacur, lah kok malah nambah. Kan kasihan anak-anaknya. Ayam 1 ekor jadi enak kalo dibagi ber-4, jadi harus dibagi 8, karena anaknya 6.

Setelah puluhan tahun menggalakan program KB, emang berapa besar pengaruhnya untuk merubah mindset ‘banyak anak banyak rejeki?’ padahal, kalo aja program KB sukses, kan pembagian kue nasional bisa lebih gede proporsinya.

Setali tiga uang sama sebagian besar orang Minahasa. ‘biar kalah nasi, yang penting jangan kalah aksi’….gengsi adalah segalanya bo! …haloooow.  Ini nih sebenarnya salah satu biang kerok maraknya korupsi. Gimana ngga, lah wong mampunya Cuma beli motor, maksain diri kredit Xenia. Abis itu, disewain jadi taksi gelap.  Biarpun dia sendiri akhirnya jarang naekin tuh mobil, yang penting tetangga dan teman-teman tahu kalo dia punya mobil keren. Trus, foto-foto disetir mobil buat masukin di Facebook. "Supaya ngga dianggap enteng orang" Paling itu bahasa yang keluar dari bibirnya yang bau ikan asin.

Bukan sirik, ato nyinyir sama orang. Tapi saya pernah liat orang yang performancenya keren.  Turun dari mobil keren. Eh ribut berat sama tukang parkir kurus yang kucel, dan udah kepanasan, cuma lantaran duit 1000 (catat: seribu perak). Oh my god dragon… (artinya astaga naga,..kata temen saya). Apapun alasannya, kan ngga balance ngeributin Rp.1000 yang buat si-tukang parkir adalah seluruh hidupnya, tapi cuma ‘kentut’ mobilnya bagi si-pengemudi sok kaya.

Tapi yah, begitu deh. Masih lebih mudah melakukan revolusi untuk menurunkan pemimpin Negara, kaya di  Mesir & Libya ketimbang merubah mindset atau persepsi yang dibentuk, dan mendarah daging pada diri seseorang. Coba aja suruh orang Palestina untuk menerima Israel dengan ikhlas, lalu melupakan semua cerita masa lalu, untuk menempuh hidup baru. Atau sebaliknya. Orang Israel terhadap Palestina. Karena satu-satunya keyakinan yang mereka tahu adalah: dengan membasmi seluruh orang Palestina dari muka bumi, maka persoalan Bangsa Israel akan selesai. Begitupula sebaliknya.

Intinya, perubahan tidak bisa dipaksakan dari luar. Karena perubahan harus datang dari masing-masing pribadi. Dengan pencerahan dan keikhlasan. Malahan, Tuhan sendiri tampaknya enggan menggunakan kuasaNya untuk ‘memaksa’ perorangan untuk berubah. Dia lebih memilih jalan pertobatan ketimbang paksaan (yang ironisnya, justru sangat digemari manusia)

Btw, kira-kira,…judul sama isinya match ngga ya? Kalo ngga, rubah sendiri deh.

Satria baja hitam. Berubah….