(Kisah yang rada konyol
ini terjadi saat ‘calon cerdik pandai’ lagi KKN di
desa salah satu pelosok Minahasa)
KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang
disetting sebagai ‘bekal’ calon cerdik pandai untuk memperluas wawasan, membentuk
mental mandiri, and bersosialisasi dengan masyarakat, justru lebih banyak
membawa kisah beraroma petualangan para calon pemangku gelar Sarjana.
Sebut aja Riska,
mahasiswi cantik nan imut calon Cum Laude. Di tempatkan di salah satu
sudut Minahasa. Peristiwa unik mengusik kenyamanannya. Celana dalamnya raib
dari jemuran di hari ke-3 per-KKN-nya.
Doski diam waktu yang
hilang cuma satu helai. Mungkin ditiup angin, pikirnya. Maklum, jemurannya kan sederhana-cuma dari
anyaman ijuk- Tapi doski ’terpaksa’ ribut waktu yang kedua, tiga dan
empat juga ikutan hilang.
![]() |
ngunduh dari mbah Google |
Akhirnya kasus empat celana
dalam yang raib ini melibatkan Hukum Tua (hampir sederajat dengan Lurah)
kampung tersebut. “Kalo harganya murah sih saya rela pak. Tapi ini Wacoal,”
protes Riska
Hukum Tua terdiam
memandangi wajah cantik Riska yang putih mulus (mungkin diamnya karena lagi
ngebayangin Riska mengenakan Wacoal-nya yang hilang)
Hehehe,...wanita kota tahu
persis ‘kelas’ Wacoal. Kualitas bagus, and harga selangit. Tapi buat orang kampung,
Wacoal mungkin cuma sejenis coklat bubuk yang diminum pagi dan sore hari untuk
menghangatkan tubuh.
Bag bendungan jebol,
hilangnya empat ‘Wacoal’ Riska meyebar ke seantero kampung (mirip dengan
hebohnya pengakuan Susno Duaji beberapa waktu lalu).
Semua orang akhirnya tahu
ukuran, model, warna, sama bandrolnya.
“Bisa buat beli beras seminggu.” Seorang nenek melongo karena
takjub.
Singkatnya, keempat
celana dalam tersebut ngga berhasil ditemukan. Hilang seperti banyak
keperawanan.
Keperawanan ? Masih punya artikah kata itu di jaman
sekarang ? Mana sich sebenarnya yg lebih penting: selaput tipis yg bisa
dioperasi jadi seperti semula, ato hati pemiliknya ? Hati yg perawan.
Sehari menjelang KKN
usai, para mahasiswa dikejutkan oleh ‘kembalinya’ empat celana dalam
Wacoal tersebut. Terbungkus rapi dalam kertas Koran.
Yang menggelitik adalah
isi surat yang ditulis tangan, dan terlipat bersama empat celana dalam
tersebut. Bunyinya:
“Sayang sekali
barang semahal ini hanya untuk menutupi kemaluan. Padahal, anda tidak sudi
memperlihatkannya pada orang lain waktu lagi di pakai.”
Calon cerdik pandai
pulang dengan rasa malu. Dipermalukan oleh keluguan masyarakat desa.
Mungkin kita ikut
tersenyum membaca kisah tersebut. Tapi tanpa sadar, sesungguhnya kita juga sering
melakukan hal yang sama. Ah, orang kota memang banyak anehnya. Selalu aja ribut
soal ‘pembungkus’. Soal penampilan luar. Tanpa perlu pusing soal kualitas ‘yang
dibungkusnya’