Pertama. Baiknya
loe mikir 1000x sebelum lanjut mbaca.
Kedua. Welcome…!! Loe punya sedikit gen syaraf, sampe mau mbaca tulisan ini.
Tu, wa, ga, pat………(puffffhh, cape juga
loh push up..)
Sob
(maksudnya sob buntut…), gw belom pernah dapet sms, ato wahyu Ilahi waktu bikin
judul ini. Cuma gw percaya aja kalo Dia
pasti menyayangi semua mahluk yang namanya manusia. Termasuk kaum syaraf kronis kayaq
all of you. Gak usah malu sob,
suer. Karena orang-orang syaraf yang
sadar akan ke-syarafannya, cenderung jarang dapet penyakit maag (lantaran mereka
udah syarafan, alias makan
pagi.com).
![]() |
dicomot dari google |
Bicara
soal syaraf, sebenarnya ada beberapa
fakta yang mengindikasikan
kalo derajat kesyarafan seseorang berkaitan sama tingkat intelektual. (iihhh,..ada yang malu-malu kucing tuh…meooonnggg). Dengan kata lain orang syaraf itu umumnya
pinter (ehem…ueekkk..) Kalo gak percaya liat
aja si-Einstein, itu kan mbah-nya syaraf.
Kalo doski normal, minimal dia rajin nyisir rambut. Tul gak..?
Udah gitu si-Charles Darwin. Masa
sich doski ‘normal’ kalo bisa bikin teory bahwa kakek
buyut dari kakek buyutnya adalah
si-amang dari gunung Lawu, alias monyet.
Trus si-Rembrand, pelukis legendaries yang tersiksa sama kesyarafannya
sampe harus bunuh diri di jembatan Nederland.
![]() |
juga dicomot dari google |
Di Mesir juga pernah ada orang syaraf yg beken, tuh si-Anwar Sadat. Hehehe,...gimana ngga syaraf, lah wong
kaumnya setengah mati pengen mampusin Yahudi, eh,..dia malah bikin perjanjian
damai. Tragis kan. Beliau tewas di dor ‘perwakilan’ kaum normal.
![]() |
masih di comot dari google |
Itu
tadi di mancanegara, di Indonesia juga banyak koq kaum syarafnya.
Sebut aja (Alm)Gus Dur, Bob
Sadino, Arswendo, Dahlan Iskan, (Alm)Benyamin Sueb, Pramoedya Ananta Toer sama Joko Wi.
![]() |
tetep aja nyomotnya dari google |
Orang
syaraf emang terkadang kesannya kurang peka sama penderitaan orang (walau yang
bersangkutan nolak keras tuk bikin orang lain menderita). Cuman mereka senantiasa menciptakan
kondisi ceria yang unik. Memutus rangkaian formalitas yang kaku dan
membosankan, serta membedah ‘kanker
ganas’ yang diyakini kaum normal sebagai kebenaran.
Ketika kaum normal bikin rapat di hotel
dan gedung bertingkat yang full AC, mereka milih pinggir pante, ato di bawah
pohon gede, yang juga full AC (Angin Cepoi-cepoi). Ketika kaum normal ribut soal penyebab tsunami, mereka duluan mbawa bantuan
makanan, mbangun tempat tinggal, dsb.
Waktu
genre umum rebutan proyek milyaran, mereka malah
nanem jambu monyet (dimana kaitannya tuh..? hehehe...)
Dan
untuk masuk ke kategori syaraf, seseorang gak mungkin mencapainya hanya dalam
waktu singkat. Tapi butuh proses. Mereka harus mengalami pengembaraan dan pergulatan panjang sel-sel
syarafnya sendiri. Membentuk karakter
kesyarafannya sendiri.
(oh
my G, gw nulis apaan sich…?)
Bangsa
kita butuh lebih banyak ‘orang
syaraf’ yang bisa mengatasi
berbagai persoalan secara radikal. Bukan
sederetan anggota Mensa yang slalu merujuk pada text book atau perundangan kaku
(hehehe,..besi aja bisa memuai)
Kita
butuh orang yang sudi mengangkat batu.
Bukan tukang ngedumel yang sibuk mempersoalkan kenapa batu ada di sana dengan berbagai rumus-rumus rumit dan teori
abrkadabra. Dan untuk semua itu, cuma kaum
syaraf-lah ahlinya.
Sssttttt,....gue syaraf apa ngga ya ?