Beberapa waktu lalu di rumah salah satu teman, gue
terlibat pembicaraan ‘konyol’ yang sedikit serius menyangkut maraknya angka
kriminalitas di Manado (khususnya), dan Indonesia secara umum.
Per-ngobrol-an ini dimulai oleh rasa geram salah
satu teman (sebut aja, Moty) saat membaca surat kabar tentang tewasnya anak
umur 8 tahun karena wajahnya remuk di hajar penjahat yang ingin merampok
bapaknya yang lagi mengendarai motor.
Si-bocah duduk di depan.
“Penjahatnya
kalo ke tangkep paling bagus di potong kaki sama tangannya, terus di biarin di
tengah jalan keabisan darah. Manusia
model begitu ngga pantes dibiarin hidup.
Ato, kita bentuk komunitas kontra
kriminal yang terdiri dari gabungan Polisi, Brimob, Densus 88, Kopassus, juga TNI
yang udah terlatih kayaq di film-film Amerika, yg namanya Street Justice, untuk
mensapu bersih para penjahat di seantero negri ini.” Suara Moty jelas dirasuki amarah.
 |
Gbr diunduh dari google |
“Kalo gitu,
apa bedanya kita sama si-penjahat ?” Janggo menimpali sehabis nyeruput jamunya.
“Kamu bisa
ngomong begitu karena kamu bukan keluarga korban. Bisa ngga kamu ngomong begitu ke orangtua
si-bocah yang tewas, ato ngomong ke keluarga perempuan yang diperkosa di dalem
angkot beberapa waktu lalu. Jangan-jangan
malah kamu yang disiram air panas sama mereka.
HAM ? cuuihhh,...itu sampah”
Moty kliatan tambah panas.
“Cuma orang
gila yang ngga geram and benci sama penjahat-penjahat yang seenak udelnya
ngerampok, merkosa, bahkan mbunuh orang lain.
Jujur aja, aku juga sering punya
pikiran kayaq kamu setiap liat sepak terjang para penjahat. Saweran sama komunitas sepaham membentuk tim
pembasmi penjahat, ato street Justice, yang mbakal ‘membersihkan’ semua
penjahat sampe ke akar-akarnya. Tapi
setelah aku pikir-pikir, bakal gimana jadinya kalo kita juga meligitmasi
pembunuhan. Kalo kita nyebut mereka penjahat, trus kita apa, Malaikat pencabut
nyawa penjahat ? Sejak kapan Tuhan memberikan
mandat kepada manusia untuk memusnahkan manusia lainnya ? Kalo gitu, knapa Tuhan ngga melakukan pake
tanganNya sendiri ? Kan cuma akal-akalan kita aja yang kelewat sombong, hingga
merasa punya hak untuk membunuh orang lain dengan berbagai alasan.
Negara
kita ini kan negara hukum, jadi kita harus percaya kalo Hukum di negri ini bisa
memayungi dan memberi rasa keadilan pada masyarakat. Kan sejahat-jahat dan sekejam-kejamnya orang,
bukan berarti kita bisa dengan semena-mena membunuhnya, seperti kita mites, ato
mencet kutu. Terlepas dari mereka udah
‘merampas’ hak hidup orang lain, mereka juga punya Hak sebagai manusia.” Ardi berusaha menetralisir suasana dengan pengetahuan
hukum, di mana ia adalah sarjana di bidang itu.
“Sory nich
Di, menurut aku, justru orang-orang di dunia Hukum-lah salah satu penyebab
lebih menjamurnya kejahatan dan kriminalitas di negri ini. Dunia hukum tidak memayungi, apalagi memberi
rasa keadilan pada masyarakat, tapi memayungi penjahat serta kejahatan-kejahatannya. Keadilan cuma untuk mereka-para penjahat. Coba kasih pencerahan ke kita-kita di sini,
bagaimana kamu bilang Hukum memayungi dan memberi rasa keadilan pada
masyarakat, kalau faktanya penjahat yang jelas-jelas membunuh sambil di
saksikan beberapa pasang mata, masih di bela mati-matian sama manusia bejat
yang namanya pengacara, ato advokat...!!” Moty tersenyum sinis sambil menghisap
rokoknya.
“Yah itu
terserah sudut pandang kamu, tapi pada
prinsipnya, pengacara itu bukan membela orang yang di duga bersalah, apalagi
membela kesalahan-kesalahannya. Bukan
begitu. Itu persepsi yang tidak tepat. Mereka hanya memberikan nasihat hukum, sambil
mencari fakta-fakta yang sebenarnya telah terjadi. Saya gampangin aja ceritanya.
Misalnya
kamu Moty, di sebuah tempat yang sepi, di jegat penjahat berpisau. Lalu dalam sebuah pergulatan, kamu yang
sedang membela diri, tanpa sengaja menyebabkan si penodong tewas. Ketika pisau masih di tangan, tiba-tiba
datang dua orang yang melihat kamu memegang pisau yang berlumur darah, dengan
sesosok mayat. Pertanyaannya, dapatkah
kamu membela diri kamu sendiri di hadapan Polisi, Hakim, Jaksa untuk meyakinkan
mereka kalau kamu hanya membela diri, jika faktanya ada dua saksi yang melihat
kamu memegang barang bukti yang menyebabkan korban terbunuh ? Pasti tidak kan. Nah, di posisi itulah kamu butuh orang yang
dilegitimasi oleh dunia Hukum, serta bisa kamu percaya untuk membuka tabir yang
sebenarnya terjadi.
Coba
kamu posisikan dirimu duduk sendirian di kursi pesakitan dengan semua mata
memandangmu sebagai pembunuh kejam, tanpa seorangpun yang menemani untuk
berusaha meyakinkan kalau kamu hanya membela diri.
Nah,
dalam posisi itu, apakah kamu akan berkata kalau pengacara itu bejat, jika
karenanya kamu bebas dari tuduhan, atau setidaknya hukuman kamu jadi jauh lebih
ringan dari yang seharusnya ?” Ardi tersenyum
arif.
“Yah, untuk
kasus yang kamu bilang emang ada benernya, cuma aku tetap pada prinsip bahwa
kita perlu Tim khusus rahasia itu. Kalo kamu gimana Bin ?” Tohokannya yang
tiba-tiba mengarah ke gue membuat gue gelagapan, karena belom siap dengan
perisai pelindung.
“Jujur, gue
ngga mau dong ada anggota keluarga yang jadi korban, supaya setuju sama usul
loe. Aduh, jauhkan deh Tuhan. Tapi kalo di suruh aklamasi setuju ato tidak
setuju pembentukan tim street justice guna membunuh para penjahat, terus terang
gue ngga setuju. Karena buat gue, itu
bukan satu-satunya jalan keluar untuk meminimalisir, ato menghilangkan kejahatan. Selain bener kata Ardi and Janggo, bahwa
akhirnya kita malah lebih jahat dari penjahat yang kita bunuh secara tidak
langsung karena menyetujui tim street justice, kan bukan tidak mungkin kalau
suatu ketika anggota tim street justice yang udah kebiasaan membunuh ini malah
kebablasan bunuh sana-sini tanpa tedeng aling-aling karena ‘keasyikan.’ Dan bukan mustahil juga kalo keahlian mereka
justru di manfaatkan oknum berduit untuk membunuh lawan-lawannya. Entah lawan politik, atau saingan
dagang. Inget ngga sama pembunuhan Gali
dulu, di mana para street justice yang ngga pernah diketahui identitasnya membantai
satu demi satu penjahat-penjahat, dan membuang mayatnya ke kali ? Apa masalah selesai ? Ngga man.
Malah kalo ngga salah informasi, beberapa anggota tim ada yang bunuh
diri lantaran sakit jiwa karena merasa di kejar-kejar bayangan yang balik
pengen mbunuh mereka.
Bukan
itu aja, lantaran tim street justice cuma terfokus di satu wilayah, banyak
penjahat yang malah migrasi ke daerah lain, dan melakukan kejahatan di daerah
baru. Konyol toh? Ibarat Waralaba, di
tutup di satu tempat, malah buka cabang lebih banyak di daerah lain. Daerah yang tadinya aman, malah kecipratan
getahnya....” Gue
kebingungan sendiri, darimana dapet kata-kata begitu.
 |
Gbr diunduh dari google juga |
“Bener skali
Bin, saya setuju sama perspectif kamu.
Pada masa penjajahan dulu, kan di mata penjajah semua bentuk perlawanan
adalah benih kriminal yang harus di basmi supaya ngga ‘menular’ ke jajahan
lainnya. Tapi di mata sesama kaum
terjajah, para pembangkang adalah pahlawan yang kelak dihormati anak cucu. Pertanyaannya bukanlah kenapa mereka membunuh
para penjajah secara sembunyi-sembunyi sehingga diapandang sebagai kriminal,
tapi kenapa mereka-para penjajah- menjajah hak-hak yang sama sekali bukan
haknya. Dan ngga ada salahnya kalu kita
juga bertanya, kenapa penjahat-penjahat itu jadi penjahat ? Bukannya malah
mengambil jalan pintas dengan membunuhi mereka.
Harusnya, kita yang ‘merasa orang baik’ percaya kalau ngga ada manusia
yang lahir untuk jadi penjahat. Ada
terlalu banyak faktor yang perlu di kaji lewat pendekatan sosiologis, atau
psikologis.” Ardi berusaha
menyeimbangkan.
“Jadi
menurut kalian, kita diem aja melihat negri ini terus di rongrong penjahat
?” Moty menggelengkan kepalanya.
“Bukan
begitu maksud Ardi sama Robin. Seluruh
masyarakat harus terlibat bahu membahu memerangi kejahatan. Mengawal jalannya supremasi hukum. Bukan
semata fokus pada si-pelaku kejahatan yang harus mempertanggung jawabkan
kejahatannya di depan hukum, tapi juga sumber dari kejahatan itu berasal. Kemiskinan dan kesenjangan sosial
misalnya, ato sempitnya lahan pekerjaan
yang menyebabkan tingginya angka pengangguran.
Kita adalah mahluk yang punya naluri untuk bertahan hidup. Kalo seseorang kelaparan, kan dia musti cari
jalan untuk makan. Entah minjem duit,
ato kerja serabutan. Tapi kan ngga
jarang orang yang seolah udah ngga punya jalan keluar, hingga akhirnya nekat nyolong
di supermarket misalnya. Jelas itu salah
dong. Dan ngga perduli lapar sebagai
alasan, masyarakat ngga bakalan bisa terima tindakan begitu. Tapi kalo pake konsep street justice, seperti
yg nt saranin, berarti dia juga musti di basmi dong. Di bolongin jidatnya pake peluru tajem, cuma
lantaran ngambil sepotong roti.” Janggo
senyum ke Moty.
“Ya udah,
ayo kita abisin nich kopi. Udah dingin....!!!”
Moty ketawa kikuk.
Mmmhhhh,.....Street Justice ? Absolutely Not.....
What do you thing ????
STOP PERANG DAN KEKERASAN DI SELURUH INDONESIA,
HINGGA KE UJUNG BUMI....!!!