Wednesday, July 18, 2012

REMBULAN DI LANGIT AIRMADIDI


Hari ini 03 July 2012.  3 bulan setelah pabrik tempat kerja gue ‘sleeping with conflict’ alias ditutup karena konflik internal.  Dari 120 lebih karyawan, tersisa 4 penunggu.  Gue, dan 3 temen.

PT. Celebes Minapratama. Pabrik ikan yang ampir 11 taon gak pernah sepi aktifitas, sekarang tampak lusuh. Merana digerogotin karat dan sarang laba-laba. Rumput dan pepohonan bambu semakin ribut saat ditiup angin karena udah gondrong ngga pernah lagi dipangkas

Ketika si-Surya penunggu siang mulai ngantuk, gue tunggangin smash biru my Dady yang udah seumur pabrik. Cuma lantaran dipake sebatas rumah ama kebon, kilometer di speedonya baru 9550 km.

Dalam perjalanan menembus keremangan, gue biarkan benak gue yang mulai genit menggerayangi untaian panjang waktu yang telah gue lewatin.  Mulai dari konflik unik berkepanjangan antara 2 bos yang pemegang saham, bisnis istri gue yang mulai menggurita, istri temen gue yang sakit parah, sampe rencana gue buat bisnis trading yang belom juga menunjukan titik terang.

Memasuki Watudambo, gue sengaja jalan pas di belakang truk container tanpa box, guna ‘mengamankan’ benak gue yang berseliweran.  Selain aman dari kemungkinan diseruduk kendaraan dari depan, gue juga ngga diganggu lampu mobil yang menyilaukan.

----------------------------------------------------------------------------------------- 

Entah kenapa, gue seolah ‘menikmati’ posisi netral gue dalam konflik 2 pemegang saham.  Indonesia vs Jepang. Sama-sama kaya dan berkuasa. Juga sama-sama kukuh dengan pendiriannya. Konflik yang bukan cuma nyedot dana extra gede, tapi juga energi. Sedangkan asset itu sendiri, PT. Celebes Minapratama berangsur-angsur susut dan menua. Tertidur pulas tanpa telur emas. Padahal, total assetnya sekitar 30 Milyar.

Tanpa sadar, gue terkondisikan sebagai mediator yang njembatanin komunikasi kedua pihak yang beseteru. Tahu banyak kiat-kiat kedua pihak untuk saling merobohkan kekuatan lawan.  Piranti hukum dan kewenangan pemerintahpun jadi salah satu lokomotif toex menguak borok lawan. Plus kesaktian mental dalam mengelola stress. Walau ujungnya kembali pada tradisi hukum rimba: “yang kuat, yang akan bertahan..”

Sebagai penganut aliran simple people, gue heran sama pola pikir orang yang duitnya ngga cukup disimpen di dua Bank, koq harus nempuh jalur ruwet kalo ada jalur yang simple...? koq harus nunggu tekanan darah naek kalo bisa mempertahankan kegembiraan...?

Mungkin bener mereka bilang: “it isn’t only about money Robin...!”

Lalu apa...?

“Ini persoalan harga diri dan kredibilitas..”

Oh my God,...ajarin gue dong apa arti harga diri dan kredibilitas.

Kenapa sich banyak orang berantemin duit pake bawa-bawa harga diri sama kredibilitas....? Apa emang gue segoblok ini sampe bingung mengklasifikasikan 10 milyar, harga diri dan kredibilitas....?

Apa gue juga harus ragu untuk bersyukur,ato merasa terkutuk sebagai penganut aliran simple people...?

--------------------------------------------------------------------------------

Memasuki by pass, seekor motor (hehe,..) gede ijo jalan sejajar gue. Penumpangnya laki-laki muda berjaket kulit dan helm item.  Di pinggangnya melingkar tangan gemulai dengan gaya duduk yang agak nyembul ke atas, dengan dada yang lengket di punggung si-pria. Berjaket jeans dan celana pendek. Walau agak gelap, mata tua gue masih bisa memastikan kaki panjangnya yang putih mulus dan padat. Rambutnya yang halus tanpa helm tergerai-gerai disisir angin (tapi ngga ada ketombe yang jatuh...)

Cewek noleh dikit waktu gue pelototin, dan langsung nempelin dagunya lagi di bahu laki-laki (mungkin dikiranya gue karung beras kali. Hehehe...)

Ngga lama kemudian, motor ijo tadi menyalip truk, dan melesat dikegelapan malam. Gue sendirian lagi di belakang truk.

Tiba-tiba otak gue diingatkan sama salah satu film ‘Taxi’ yg dibintangi wanita kulit hitam bertubuh subur, yang secara kebetulan berteman polisi lugu yang sering kena damprat bos cewek yang ditaksirnya.

“Supaya santai nyetir, coba deh loe nyetir sambil nyanyi..!” kata wanita supir taxi di salah satu adegannya.

Gue-pun ngikutin saran tersebut. ‘Tiada yg lain’-nya Fenomena

Semilirnya, angin malam ini
Membuaiku larut dalam lamunan, hayal tentang keindahan
Dunia fana ini
Kasih semu yg pernah kau curahkan
Membawa diperjalanan hidup ini
Tapi resah dan gelisah slalu menghantui
Karena sikapmu yang tak pasti

Kucoba melupakan dirimu, karena kutahu pasti sifatmu
Agar aku tak slalu rindu padamu, kasih
Semakin aku lupakan, semakin aku sadari
Cintaku hanya padamu seorang kasih
Tiada yang lain

Masuk Airmadidi, gue reflex nengok ke langit (kebetulan langit juga melototin gue). Bulan putih memendar indahnya. Menyirami malam dan jalan yang gue lewatin. Beberapa awan tipis (setipis Laurie Maxi..) baris sambil bergandengan tangan. Mirip sayap-sayap bidadari yang pengen mandi (iihh, knape gue juga jadi pengen mandi sichhh...)

Benak gue memanggil lagi memori masa muda gue. Waktu gue 20’an. Waktu angkutan umum cuma ST 20, waktu rokok belom terasa nikmat karena harganya cuma Rp.500/bungkus, waktu pertama ngerasain hangatnya bibir orang lain, waktu Manado ngga pernah macet, waktu minyak tanah Rp.100/liter, waktu tinutuan masih Rp.250 sepiring, waktu pemilik motor bisa diitung pake jari, waktu boulevard masih tempat parkir perahu (karena mall belum menetas), waktu telinga kiri gue masih dipasangin 4 biji anting (anting pepaya, mangga, pisang, jambu yg gue beli di pasar minggu)

Rembulan di langit Airmadidi masih ngikutin motor gue.

Gue inget pertama kali gue jadi Honda di Bappeda Sulut.  Gue inget pertama kali nyium aroma ikan yang memuakan saat nyari kerja di tanah Bitung. Gue juga inget waktu pertama kali terima gaji di perusahaan swasta, Rp. 180.000/bulan. Gue juga inget kalo walikota Bitung sekarang, kalah di pemilihan putaran pertama. 

Dan gue masih inget, kalo Rembulan di langit Airmadidi ternyata masih sama.
Walau semua kini telah berubah. Hehehe,..gue aja sekarang 41.

Akhirnya,...gue nyampe di rumah ortu. Bertepatan sama jam sinetron favorit gue: Tukang Bubur Naik Haji dan Raden Kian Santang.

Waktu nutup pager, gue noleh lagi ke langit.  Di sana, di langit Airmadidi, Rembulan tersenyum ke gue. Seolah berpesan:

“Bin, dalam keadaan apapun, berpihaklah selalu pada kebenaran…”