Belasan taon lalu, pertama kalinya diadakan pertandingan
antar ilmu bela diri. Karate diadu lawan
Judo, Kung Fu lawan Wrestling, Tae Kwon
Do lawan Kempo, dan lain sebagainya.
Pokoknya semua ilmu bela diri saling hantam untuk mencari yang terkuat,
dalam sebuah kemasan pertarungan bebas yang diberi nama UFC (Unlimited Fighting
Contest).
Mengingat buas dan liarnya pertandingan tanpa aturan tersebut,
maka ditetapkanlah satu orang wasit untuk mencegah kontestan sekarat atau tewas
saat bertanding.
Setelah beberapa kali diadakan, ternyata bela diri Jiu
Jitsu-lah yang paling banyak mendominasi perolehan juara.
Gue pikir tujuan diadakannya kontes pertarungan tersebut cuma
untuk membuktikan bela diri yang terhebat di antara ratusan bela diri yang ada
di seantero jagad.
Bukan hal aneh kalo kita sering ndengar stament bahwa bela
diri ‘A’ pasti lebih unggul dari ‘B’.
Ato bela diri ‘B’ lebih unggul dari ‘C’. Ya iyalah.
Masa sich pemegang Dan III Karate bakal ngakuin kehebatan Kung Fu tanpa
pernah diadu secara fisik. Ato, mana
mungkin Juara Dunia Tinju bakal ngakuin kehebatan Pemegang Emas Kejuaraan Dunia
Judo tanpa bentrok secara fisik.
Makanya di ajang perdana UFC, semua yang diadu adalah sosok-sosok
terbaik di cabang bela dirinya.
Sebagai penggemar berat ajang UFC, gue sendiri kadang ngeri ngeliat ajang tersebut. Kalo cuma muka yang jadi blangsakan mandi
darah sich udah biasa. Tapi di UFC bukan
cuma gitu, tapi juga tangan ato kaki yang jelas-jelas patah. Pokoknya bener-bener brutal. Tapi gue anggap wajar, namanya juga
pertandingan.
Mungkin setelah terbukti bela diri yang paling superior, suara-suara
yang menganggap paling hebat dan super, dengan serta merta berhenti. Mengakui bela diri terhebat sebagai
pemenangnya.
================================
Berkaitan sama sentimen antar ilmu bela diri di atas,
tiba-tiba otak gue belok ke persoalan yang kalo diperhatikan sepintas punya
fenomena yang ampir-ampir mirip, yakni AGAMA.
Siapa sich yang ngga tau kalo tiap pemeluk Agama meyakini
bahwa Agama-nya lah yang paling benar di seantero jagad (Sama dengan penganut
salah satu aliran bela diri) ? Sebenarnya
sich sah-sah aja kalo tiap pemeluk Agama punya keyakinan begitu. Persoalan muncul ketika pemeluk satu agama
mulai njelek-njelekin keyakinan Agama lain.
Karena itu tadi: Masing-masing Agama meyakini Agama-nyalah yang paling
benar.
Belakangan, ada sebuah aktifitas baru yang dikemas sebagai
paket ‘mempertebal’ keimanan para pengikut sebuah Agama. Acaranya adalah menghadirkan seorang yang
dipercaya sebagai pemuka Agama ‘saingan’ yang karena sebuah pencerahan atau
‘wahyu’ akhirnya berpindah ke Agama lain.
Di mimbar Agama barunya, yang bersangkutan di beri kesempatan
berkhotbah.
“Saya dulunya
ber-Agama X. Agama yang saya peluk sejak
turun temurun. Saya di besarkan dengan
keyakinan bahwa Agama X-lah satu-satunya kebenaran. Agama Y, Z dan T adalah keyakinan yang
sesat. Apalagi Agama-Y. Dan saya dibesarkan dengan kebencian pada
Agama Y. Tapi anehnya saya sama sekali
tidak menemukan kedamaian di Agama X.
Hidup saya slalu gelisah. Hingga
suatu ketika, saya secara kebetulan menemukan kitab suci Agama Y. Saya ingin sekali membakarnya, tapi entah
kenapa hati kecil saya justru memerintahkan saya untuk
membukanya,.....bla...bla....bla,...hingga akhirnya saya dengan keyakinan yang
tak tergoyahkan lagi, memutuskan untuk memeluk Agama Y. Sekarang hidup saya slalu di sinari kedamaian
dan kebahagiaan, walau semua keluarga besar saya menjauhi dan mengusir saya.”
“Agama X itu
bla...bla...bla....dan bla...bla....serta bla...bla....” Kata-katanya penuh semangat membara membahanakan
hujatan, hinaan, dan ejekan pada Agama yg sudah ditinggalkannya.
Seusai acara, semua penganut Agama Y keluar dengan senyum
kemenangan. Jiwa mereka seolah
‘disegarkan’ oleh sebuah sabda baru yang mereka yakini sebagai kebenaran hakiki
yang tak terbantahkan. Mereka ketambahan ilmu baru. Sebuah amunisi super ampuh untuk menyerang
Agama X.
Lalu episode penghinaan, penghujatan dan pengejekan jadi
agenda baru yang wajib disiarkan ke seluruh pelosok. Gayung-pun bersambut. Akhirnya tempat ibadah di rusak, dan hasil akhirnya
tak terelakan: ribuan nyawa-pun
melayang.
Buat gue, ngga ada kekonyolan paling menyakitkan selama
perjalanan peradaban manusia, selain konflik antar Agama. Ngga ada mahluk yang lebih rendah ketimbang
hewan-hewan di hutan belantara, selain hasrat liar manusia untuk saling bunuh
karena sesuatu yang Mulia, yang kita sebut Agama.
Yah, kecuali kita menganggap hadirnya Agama ngga lebih dari
sekedar ilmu bela diri yang boleh saling diadu untuk membuktikan siapa yang
terkuat.
Kalo udah gitu, wajar dong kaum Atheis ngomong: “Untuk apa
ada Agama ?”