Bisakah kau mengartikan kegalauan ini:
di
penghujung senja yang hampr terlewati, setelah satu demi satu gejolak ombak
aktifitas mereda, aku terhenyak pada kursi tua nan rapuh hasil karya tukang
kayu tua yang tak pernah henti tersenyum.
Kutarik napas sarat kumpulan partikel asap dan abu, sambil merogoh saku
berisi sebatang rokok. Tapi terpaksa
kubatalkan saat kudengar gemercik air di kamar mandi yang lebih kuat menggodaku
untuk segera menggerayanginya.
Aku
tak sempat menghitung cedokan air yang menggelinjang menjilati tiap lekuk
tubuhku yang pernah menggoda gadis-gadis muda dulu. ah, aku memang tak suka berlama-lama di kamar
mandi. Malu melihat tubuh telanjangku
yang hanya pantas dieja dengan satu kata: gumpalan lemak abstrak. Huh.
Tak
butuh waktu lama bagiku menghadirkan secangkir kopi panas yang aromanya
menyeruak dan menyusup ke rongga hidung dan bercengkerama dengan sel-sel
syarafku. Ah,...masih dapat kurasakan
masa-masa kemudaanku yang terekam pada
lembar-lembar kertas buram bernama foto.
Sambil
memandangi barisan pohon, kuraih cangkir kopiku, lalu kuseruput cairan hitam
kental yang telah menemaniku lebih dari 25 tahun....mmmmhh...arrrgghhh,....aku
tidak suka cengkih,...kenapa sebutir cengkih harus menyelinap di kopi
panasku,...astaga....ini bukan cengkih.
Ini lalat.....
Kenapa
kekejaman kecil ini harus merusak sore-sore indahku yang kini tak lagi
sempurna.
Wahai
Pencipta, untuk inikah Kau ciptakan sepucuk lalat ? Untuk merenggut sore indahku dengan setangkai
kopi ?
Aku
tahu ketika malam semakin tertatih: Tuhan membujuku minum kopi bersamaNya
Wangurer, pukul 17.55
After read the novel: “the shack”