Sebenarnya gue udah melanggar aturan yang gue bikin sendiri
dalam hal pemilihan tema tulisan-tulisan gue, yakni content yg bernuansa
politik. Bukan,...bukan gue anti, ato
alergi sama ‘hura-hura sakit’ yang namanya politik, cuman lantaran penelusuran
otak gue masih terlalu dangkal mendeskripsikan ‘wilayah’ politik itu sendiri. Sel-sel kelabu di kepala gue masih belom bisa
mbedain mana yang masuk kategori politik dan bukan politik. Dan kondisi ketidaktahuan itu sering diperparah
oleh statement-statement sbb:
“Ah, itu mah strategi politiknya si kecoa
untuk...bla...bla...”
“Si buaya sudah menunjukan sikap politiknya “
“Konspirasi politik partai bunglon dan partai curut akhirnya
mengemuka ke permukaan”
Ah,...sebodo. bingung
gue ama poltak,..eh,..maksudnya politik.
Tapi hasrat liar gue untuk nulis sosok lugu bernama Jokowi, mau
ngga mau harus nyeret gue ke wilayah politik juga. Yah sudahlah.
Btw, koq padanannya Mr. Flinstone ? He...he....he....kan
setidaknya model rambut mereka sama.
Belah pinggir.
Oh ya, ada satu hal lagi pakem yang gue langgar dalam hobi
tulis menulis ini, yaitu membeo pemberitaan yang lagi marak. Jokowi, itu.
Fenomena wong ndeso nan lugu yang coming from Solo, yang baru aja menang
pilgub Jakarta.
Tapi emang bener koq, Jokowi itu bener-bener sosok asing dalam
gemerlapnya lampu pesta dansa. Mahluk
tanpa rupa pejabat dengan senyum kampungan yang merusak tatanan masyarakat
modern. Bayangin, ketika orang lain
susah payah kredit mobil baru nan mentereng supaya status sosialnya meningkat
selevel atau 2 level, eh doski tanpa perasaan berdosa malah ngantor naek sepeda
ontel. Oh Gusti, Joko...Joko, loe
bener-bener nampar ‘prestise’ ribuan anak buah loe yang pengen gaya sama
kekayaannya. Sampeyan itu Walikota loh
Jok. Virus apa sich yang ngendap di otak
sampeyan, koq bisa-bisanya menganut aliran kampungisme yang kental banget?
Ketika pejabat lain berusaha ngabisin uang negara sambil
korupsi, eh loe malah nolak ngambil gaji.
Loe ngga ngerti kali ya apa artinya fulus, money, hepeng...?
Gue sempet mikir, jangan-jangan si Joko Widodo ini njadiin Mr.
Flinstone sebagai tokoh idolanya. Itu tuh,
si tampang cemen bermobil batu. Mobil yang
mesinnya pake kaki sendiri, trus telephonnya dari batu, dan semuanya serba
batu.
Kemenangan Jokowi adalah kemenangan psikologis. Lantaran banyak orang Jakarta capek sama
unjuk kekuatan materi. Sesuatu yang
tanpa disadari mengikis sisi-sisi kemuliaan manusia. Membuat manusia hidup dengan ideologi ‘uang
adalah pusat segala sesuatu’
Aura kesederhanaan mas Joko berhasil memanggil kembali
kesadaran manusia akan indahnya kesederhanaan.
Berpikir sederhana, dan hidup dalam kesederhanaan. Bahwa kita akan tetap mendapatkan udara dan
sinar mentari secara gratis, tanpa harus ke Bahama, Caribia, atau Hawaii. Bahwa sesungguhnya kita bener-bener ngga
butuh rumah tiga tingkat seukuran setengah lapangan bola. Kita ngga butuh 3 biji mobil bermerk. Kita juga ngga butuh jam tangan bersepuh emas
dengan harga 50 jutaan. Kita ngga butuh
Blackbery, Tablet, ratusan biji sepatu, tas, atau T-shirt seharga jutaan hingga
puluhan juta kalo cuma pengen dapet respek dan penghargaan dari orang
lain. Jokowi berhasil
membuktikannya. Ia mengajarkan, bahwa
kita mendapat respek dan penghargaan orang lain, bukan karena kebendaan yang dimiliki,
namun karena karakter pribadi kita.
Ketulusan, kerendahan hati, dan kerelaan untuk berbagi. Sesuatu yang tak pernah usang dimakan waktu.
Ya, kita terlalu sering disihir oleh gemerlapnya harta
dunia, hingga membutakan hati kita akan sesuatu yang bernilai kekal: Kasih
Sayang.
Gue ogah jadi Mr. Flinstone yang capek sendiri sama mobil
batunya. Gue juga ngga bakalan jadi
kayaq mas Joko (hehehe,..emang gampang jadi Gubernur..?) Tapi gue akan tetap jadi diri gue
sendiri. Yang dicintai istri dan anak-anak
gue, disayang ortu and kakak/ade, dan
disapa mahluk-mahluk yang namanya teman.
Mas Jokowi, cukup jadi salah satu sosok yang
menginspirasi. Ngga lebih.
(buat temen2 gue: Linda Rismanto, Zsedo, Tato, Deni Kirimang, Oy)
(buat temen2 gue: Linda Rismanto, Zsedo, Tato, Deni Kirimang, Oy)