Tuesday, December 28, 2010

TAHUNA, KOTA KECIL YANG MISTERIUS

Dari kapal Marin Teratai
8 hari menjelang usainya 2010

Seperti tahun-tahun sebelumnya, sejak 15 Desember, pelabuhan Manado selalu sesak oleh lautan manusia yang mudik ke Tahuna, Siau/Tagulandang, serta Talaud, guna menyambut Natal & Tahun Baru. Mulai dari pedagang, pelajar/mahasiswa, pegawai, pejabat, buruh, hingga Tentara, berduyun-duyun dengan beragam jinjingan, dari koper lux, hingga dos-dos. Pemandangan yang sangat lazim.
            Berbekal tiket ‘alas,’ sayapun berjejalan antara ratusan penumpang Marin Teratai, mencari sejengkal ruang tuk habiskan malam menuju Tahuna. Dan tepat di bawah cerobong yang bersebelahan dengan wc umum yang suhunya bagaikan oven yang tengah ‘ON,’ saya hempaskan bokong jumbo ini dengan lega (sambil berharap hujan tak turun menyapa malam ini)
            Jam digital di Nokia 1200 saya menunjukan pukul 20.10 saat Marin teratai beringsut perlahan, membelah kesunyian malam. Geliatnya menyisakan gelombang kecil dan buih putih bagi warga Manado. Di ujung geladak, beberapa penumpang melambai pada para pengantarnya. “Selamat tinggal Sulawesi Utara..!” Kelakar salah satu anak muda berambut gondrong.
            Hampir 10 buah mercon dilesatkan salah satu penumpang ke udara. Percikan api warna-warni memendar anggun di kegelapan langit Manado. Melepas keberangkatan Marin Teratai yang meluncur anggun ke satu noktah kecil pada peta Sulawesi Utara. Sebuah kota yang misterius. Tahuna.
            Misterius…? Ada apa sih dengan Tahuna..? Vampire, voodoo, zombie? Ah, tidak ada apa-apa dengan Tahuna. Bahkan sama biasanya dengan 14 tahun lalu, saat pertama kali saya menginjakan kaki di sana (hehehe,…koq mirip Neil Armstrong wkt pertama kali menginjakan kakinya di bulan ya..). Tidak ada perubahan significan, selain kantor Bupati baru di bekas pekuburan, di Kelurahan Soataloara.
Keisengan saya (mungkin juga kebodohan) kembali mengembara. Menyeruak mencari ruang jawab.

            Jika kita melihat seorang bocah kurus, lusuh, dan tampak tak terurus, kita akan berasumsi kalo si-bocah berasal dari keluarga tidak mampu (sebuah paradigma umum bukan..??). Tapi kita pasti terhenyak saat tahu kalau si-bocah justru berasal dari keluarga kaya. Tak ayal, kita akan menyesalkan orangtua si-bocah yang menelantarkannya. Membiarkannya hidup bagai gembel, yang merana dalam kemakmuran.
            Begitulah gambaran kota Tahuna. Kota kecil yang memiliki hampir semua kriteria untuk memperoleh predikat makmur. Karena ditinjau dari potensi Sumber Daya Alam, Tahuna bukanlah gurun pasir yang hanya dipenuhi kalajengking dan ular derik. Tahuna punya jutaan batang kelapa, cengkih, pala. Itupun masih harus ditambah dengan potensi hasil laut yang beragam dengan kelimpahan. Rumput laut, Teripang, serta ikan-ikan ekonomis penting yang mungkin telah banyak ’dirampok’ negara tetangga.
            Selain itu, Tahuna juga punya pesona alam yang tidak murah untuk bisa di jual sebagai object wisata. Tinggal kepiawaian memolesnya. Dan yang tak kalah penting, Tahuna punya generasi berkualitas ’berlian’ yang tersebar di segala penjuru mata angin tanah air. Mulai Profesor, Doktor, dan Insinyur. Tinggal ’tunjuk satu bintang’.
Malahan, dari kota Tahuna sendiri telah ’lahir’ beberapa lulusan yang dikandung sebuah politeknik dengan staff pengajar yang biasa ’memoles’ para Master. Coba tanya orang Tahuna, siapa yang tak kenal Politeknik Nusa Utara. Mungkin hanya balita.
Dengan semua fakta tersebut, ironisnya, saya justru melihat Tahuna bagaikan bocah ingusan yang lusuh, kurus dan tak terurus. Laksana kastil kusam di tengah pulau berselubung kabut, dengan lolongan srigala di kejauhan. Penuh misteri.
Tapi Tahuna akan tetap sebagai Tahuna. Kota kecil Kabupaten yang dengan mudahnya diperoleh produk-produk negara tetangga, Philiphina. Kota kesayangan wanita tercinta yang telah melahirkan 2 gadis kecil, yang memberi keindahan dalam hidup saya. Kota nostalgia, dimana saya ditahbiskan di depan altar Gereja.

Bagian Akhir

Sambil berdiri di pinggir pantai dekat pelabuhan, saya membayangkan Mahatma Gandhi berdiri di samping saya.
”Alam Tahuna mampu mencukupi kebutuhan tiap penduduknya, tapi.....”  Bisiknya
Ah, lamunan saya dikejutkan suara tukang ojek yang menawarkan jasanya. Saya menolak halus, dan kembali pada khayalan tentang kata-kata Mahatma Gandhi yang tidak selesai. Lagi-lagi sebuah misteri. Yang terkandung dalam kalimat sesudah kata ”Tapi.......” dari petuah seorang Mahatma Gandhi.


(seandainya Tahuna bisa bicara, ia pasti tahu misteri yang menyelubunginya. Misteri kenapa ia tampak begitu kurus dan lusuh. Padahal,.......)



Thursday, December 16, 2010

PERBAIKAN INTEGRITAS ADALAH SEBUAH PR

“Siapa anda, dapat diketahui dari teman-teman anda.”                                                    
Dulunya saya mengira arti statement tersebut adalah: deskripsi tentang anda bisa anda cari tahu dari penuturan rekan-rekan anda. Tinggal kirim sms, trus Tanya:”Eh, kamu kan kawannya si-anu. Gimana sih dia orangnya?”
Sms balesan datang:”oohh dia tuh tinggi, gendut, giginya udah banyak yang ompong, sok tahu, lebay, jarang mandi,.bla..bla…”

Ternyata persepsi saya salah besar, karena arti statement tersebut lebih cenderung pada strata, kelas, atau level. Dengan kata lain, pada level mana anda berada, tergantung dengan siapa anda menghabiskan waktu keseharian anda. Apakah dengan Kepala Dinas, Pengusaha besar, Bupati, Gubernur, atau malah buruh pabrik.
Kalo temen-temen kita adalah para sutradara, koreografer, pelukis, satrawan, pastinya kita akan dicap sebagai seniman. Atau, kita akan dikelompokan sebagai pengusaha kalo kita berteman dengan anaknya Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Surya Paloh, atau anaknya Eka Cipta Wijaya.
Tapi yang jadi masalah adalah, saat teman-teman yang kita miliki terdiri dari mucikari, tukang bakso, tukang sayur, fotografer, dosen, pengusaha, wakil bupati, bankir, buruh pabrik dan tukang pijit, lalu kita akan di cap sebagai apa? Hahaha……Rohaniawan mungkin.
Diakui atau tidak, walau hal ini terlihat secara samar, tapi fenomenanya memang begitu. Banyak dari kita yang memandang masih perlunya pengklasifikasian jenjang sosial dalam kehidupan bermasyarakat, dalam terminology kelas atau level.  Ayam Cuma berteman dengan ayam, dan kuda hanya berteman dengan kuda (ya iyalah,. ...masa sih ayam berteman dengan buaya,..ntar di telen kaleee…Hehe…)

Padahal kalau saja kita mau belajar dari sejarah, pastilah kita ingat mengapa kita bisa di jajah para kompeni alias Belanda, selama 350 tahun. Bukankah penyebabnya adalah perjuangan yang di dasarkan atas kelompok-kelompok, atau level-level daerah, sehingga dengan mudahnya diacak-acak para Londo dengan politik Devide Et Impera-nya. Koq masih juga suka meng-eksklusivkan diri ya?
Daripada kita sibuk berpikir untuk mendongkrak ‘kelas dan level’ kita, hingga berakhir seperti kasus Gayus Tambunan,  mungkin jauh lebih baik kita belajar untuk memperbaiki karakter dan integritas pribadi, yang dimulai dari rumah kita masing-masing. Pada anak-anak kita. Hingga kelak kita bisa dengan bangga menciptakan statement pengganti: “Siapa diri kita yang sesungguhnya, dikenali dari integritas pribadi kita.”

MENGGAPAI PUNCAK KEHIDUPAN

Saat masih aktif bertualang dari gunung ke gunung, saya merasa,  jika mendaki  gunung baru dengan tuntutan ‘harus’ sampai puncak, seolah ada beban tambahan yang membuat gunung itu bertambah tinggi. Berbeda jika saat memulai pendakian , saya hanya ingin menggapai puncak, tanpa disertai beban ‘harus’. Kenapa? Saya tidak tahu persis. Mungkin berkaitan dengan sebuah area dalam diri kita yang disebut sebagai ‘mental’.

Saat saya mendaki tanpa disertai  embel-embel ‘keharusan’, saya melakukan pendakian  dengan penuh keriangan. Step by step.  Karena saya percaya bahwa puncaknya tak akan berpindah dari tempatnya, hanya karena saya terlambat 3 jam, 24 jam, atau menundanya sekalipun. Kecuali saya berhenti mendaki. Namun selama saya tetap mendaki- walaupun hanya 2 langkah lalu istirahat- niscaya saya akan tetap sampai pada puncaknya.

Saya percaya,  sebagian besar orang berusaha mencapai ‘puncak gunungnya’ masing-masing dalam hidup mereka. Entah dalam bentuk harta yang melimpah, jabatan ataupun karir.

Sebuah ‘keharusan’ dalam mencapai ‘puncak’ kerapkali dihubungkan dengan kebanggaan, atau penerimaan .  Kalau saya mencapai ‘puncak’, orang akan mengaggumi saya. Saya akan lebih dihormati. Prestise saya akan meningkat di tengah masyarakat.”

Dalam ‘keharusan’ tak jarang seseorang akan melewati ‘jalur-jalur negatif’ yang melanggar norma-norma kepatutan dan  norma hukum.  Bahkan dalam dialetika ‘keharusan’ sering di dapati, seorang akan mengalami kepenatan psikis jika tak mampu memenuhinya.

Seorang anak yang dituntut ‘harus’ juara 1 oleh orang tuanya, akan melalui sebuah proses yang baginya ‘menyakitkan’, karena juara 1 bukan kesenangan pribadinya, melainkan ‘keharusan’ yang dipikulnya.

Begitupula dengan orang yang merasa ‘harus’ mencapai puncak karier demi penerimaan dari tetangga, teman atau orangtua. Mereka cenderung over protective, bahkan tak jarang menghalalkan banyak hal. Termasuk menggadaikan integritas.

Orang-orang dengan karakter yang kuat, melakukan sesuatu tidak di dasarkan atas ‘keharusan’, melainkan keinginan.  Bukan ‘keharusan’-lah yang menggerakan Thomas Alva Edison untuk jadi  penemu lebih dari 1000 ‘item’ paling legendaris sepanjang sejarah.

“Hidupku bagaikan aliran sungai yang semakin hari semakin deras.” Adalah ekspresi keinginan  yang diejahwantahkan dalam bentuk karya nyata, sehingga membawa Dahlan Iskan sebagai CEO Jawa Post, serta Dirut PLN yang inspiratif. 

Keinginan pulalah yang mendorong anak muda brilliant ‘penemu’ Facebook menjadi salah satu anak muda paling sukses.           

Salah satu mantan ‘guru’ saya, merasa nyaman dengan gelar S2 yang telah begitu lama di sandangnya, tanpa merasa ‘harus’ menggapai S3, yang bahkan telah dicapai oleh puluhan bekas anak didiknya. Ia bahagia dengan ‘puncak’ yang telah di capainya. Dan ia bahagia menjadi ‘acces’ lahirnya puluhan S3.

(Terkadang, feeling dalam menentukan jalan yang harus dilalui guna menuju puncak juga berperanan penting . Karena, walau kita tahu bahwa jalan ke puncak  adalah keatas, namun faktanya, perjalanan menuju puncak gunung terkadang harus melewati  ‘ punggungan’ bahkan justru  menuruni lembah,  baru kemudian naik lagi)

Ada beberapa tipe orang dalam mencapai ‘puncak kehidupannya’

a.   Tipe Guide. Para Sherpa di Mount Everest, tahu persis jalur ke puncak. Tapi mereka hanya  membantu membawa barang, sekaligus menunjuk jalan para pendaki.  Mereka pernah mencapai puncaknya. Kebahagiaan Tipe Guide akan terpenuhi saat yang diantarnya berhasil mencapai puncak.
b.  Tipe Pendaki pemula. Cirinya: Semangat menggebu, mental payah, tidak punya data yang lengkap tentang jalan menuju puncak.  Peluangnya untuk mencapai puncak adalah fifty-fifty. Tipe ini adalah orang yang tidak pernah konsisten menekuni kariernya, dan senantiasa berganti profesi.

c.   Tipe Pendaki musiman. Walau tipe jenis ini memahami seluk beluk pendakian, dan pernah beberapa kali mencapai puncak, namun baginya mendaki gunung bukanlah panggilan jiwanya. Karena prosesi pendakian hanyalah mengikuti trend semata, alias musiman.
d.   Tipe Pendaki sejati. Adalah orang-orang yang baginya mendaki gunung merupakan panggilan jiwa. Hingga ‘ritual’ pendakian bukanlah beban bagi dirinya, melainkan sebuah seni petualangan yang dilakukan dengan kesenangan dan keriangan hati. Ia tidak diikat oleh ‘keharusan’ apapun, sehingga ia begitu menikmati tiap langkahnya. Tak perduli jasadnya menyatu dengan apa yang dicintainya. Alm. Norman Edwin dan Didiek Syamsu, adalah contoh  pendaki sejati yang tewas di Gunung Aconcaqua, Argentina.


“Tuhan menyukai orang yang berani” merupakan moto para climber. Berani berpijak pada apa
yang diyakininya. Karena, seorang yang tak memiliki keyakinan, sesungguhnya ia tak punya apapun yang bisa di banggakan.

Wednesday, December 8, 2010

HIDUP ADALAH PERJALANAN DALAM PENANTIAN

Di jalanan Girian, kota Bitung. 

Selasa, 30 Nopember 2010. Pukul 23.30

Entah apa yang membuat saya ingin menikmati malam di jalanan saat ini. Tanpa banyak pertimbangan, saya pacu smash butut hadiah bos, tuk merayapi kesunyian aspal Girian. Sambil menunggu sepiring nasi goreng yang diracik pemuda berlogat Jawa kental, saya ‘memanggil kembali’ memori dalam sel-sel  otak saya.

Satu demi satu file-file ‘uzur’ berkelebat di kepala. Mulai dari kisah Taman kanak-kanak, hobi ayah yang kerap mengajak saya nonton bioskop di daerah Palmerah,  masa remaja yang syarat dengan fantasi, petualangan anak muda menyerempet bahaya, bergaul dengan wanita, bekerja sebagai buruh pabrik, menikah, punya anak yg menggemaskan, dst.

Saya mencoba mencari ‘sesuatu’ yang saya sendiri tidak tahu apa, hingga dengan terlambat menyadari, bahwa ternyata hidup adalah sebuah ‘antara’ yang memisahkan dua kata: Kelahiran dan Kematian.

Ketika kita dilahirkan, dan menyadari kehidupan, ternyata kita tinggal menunggu kematian. Artinya, proses menjalani kehidupan, sesungguhnya hanya sebuah ‘selingan’ panjang dalam penantian akan kematian.

Suatu ketika saya melihat kehidupan penyu. Sang induk bertelur di pasir, lalu telur menetas, dan penyu-penyu kecil berlarian menuju laut. Ada yang berhasil, namun tak sedikit yang mati. Lalu, yang hidup akan mencari makan, tumbuh dewasa, kawin, bertambah banyak, dan mati. Tak ubahnya dengan siklus hidup kita, manusia.

Saya kembali merunut waktu-waktu yang telah saya lewati, dan mencoba memaknai ‘selingan’ ini. Ah,  apa bedanya saya dengan hewan, jika pada ‘perjalanan dalam penantian’ ini hanya saya isi dengan ‘ritual’ mencari makan, kawin, bertambah banyak dan mengumpulkan harta..??

Faktanya, saya memang tidak mungkin menolong semua orang yang membutuhkan saya. Tapi setidaknya, saya sudi membagi beberapa sendok nasi yang tengah saya makan, pada orang di dekat saya, yang memang menderita karena rasa lapar. Bukan,…bukan karena saya harus. Namun karena saya ingin. Bukan karena saya ingin dicap sebagai dermawan, namun karena panggilan hati yang tulus dan ikhlas.

Saya tidak pernah sungguh menyadari, mengapa Indonesia memiliki pahlawan. Mengapa dunia punya Thomas Alva Edison, Hellen Keller, Mother Theresa, Mahatma Gandhi, hingga saya paham makna ‘selingan’ pada ‘perjalanan dalam penantian’.  Hingga saya paham, bahwa berbagi, adalah kosa kata terindah yang tak akan pernah usang dalam peradaban kita, manusia.

Sebaris kalimat pernah saya baca pada sebuah kaos: “Kualitas kemanusiaan kita tidak diukur dari seberapa banyak yang kita kumpulkan. Namun dari seberapa besar kita memberikan arti bagi kehidupan itu sendiri”

Sederhana memang. Tapi dipikir-pikir, mungkinkah kita mengaku beribadah pada Tuhan yang tidak terlihat secara fisik, jika faktanya kita membuat manusia lainnya seolah ‘tiada arti’…?

Malam semakin beranajak, dan temaram lampu mulai meredup. Beberapa kios bersiap untuk tutup. Di seberang jalan, 2 orang bocah mendorong gerobak, berpindah dari satu tong sampah ke tong lainnya, mengais sisa siang yang hingar bingar kampanye salah satu pasangan Walikota dan wakilnya.

Saya termanggu dalam kegamangan. Ah, aku harus pulang, menemui orang-orang tercinta, dan….kembali dalam ‘selingan’